Krishna : Kembali Ke Tempat Segalanya Bermula

52.7K 2.2K 23
                                    

“Jadi juga lo berangkat?” aku merasakan tepukan ringan di bahuku. Bima. Aku membuang nafas. Oohhh indahnya jadi Bima. Bisa terus berada di sini, lari dari hingar-bingar Jakarta. Hanya berteman Canon EOS 5D kesayangan and limitless object to catch.

“Jadi lah. Tiket udah kebeli. Walauuupuuun, kalo boleh milih, mendingan gue disini, kencan ama lo,” ujarku pahit. Bima tergelak.

“Salam buat adek lo yang cuantik itu yah... Bilang, kalo dia cerai, Bang Bima bersedia menampung...”

“Anjrit! Lo doain adek gue cerai?” omelku sambil melotot. Bima terkekeh.

Mau tak mau aku ikut tertawa. Bima sahabatku sejak… Sejak kapan ya? Sejauh aku bisa mengingat, aku sudah bersahabat dengan Bima. Kita berdua tak terpisahkan. Rumah keluarga Bima bersebelahan dengan rumah Oma Helen, nenekku tersayang. Sejak TK sampai SMA, kami selalu berekolah di tempat yang sama. Saat kuliah, aku dan Bima sama-sama diterima di Oxford untuk kuliah bisnis, tapi malah melenceng saat sekarang kita berdua memilih bekerja untuk BBC, mengesampingkan semua hal termasuk jatah warisan, dan mengabadikan eksotisnya dunia lewat kamera. Dari dulu, Bima naksir sama Arimbi.Katanya, jodoh kan, Bima dan Arimbi! Pret! Sebagai kakak yang baik dan sayang adik, mana aku ijinkan adik perempuanku satu-satunya dicaplok buaya darat ini. Untung sekarang Arimbi sudah mau menikah. Dan, itulah alasan utama kenapa sekarang aku ada di apartemen loft-ku yang didesain minimalis kronis, alias nyaris ga ada barang, di daerah eksotis Notting Hill, London, berusaha keras menata barang-barang pentingku ke dalam ransel Eiger butut yang sebenarnya sudah nggak layak guna. Disana-sini banyak jahitan serampangan yang aku ciptakan untuk memperbaiki ransel hitam berumur 9 tahun itu. 9bloody years. Dan aku masih tidak tega membuang artefak kenang-kenangan ini.

“Ya ampyun, lo mau ke Jakarta pake tas itu? Belum sampe Heathrow juga udah jebol tu ransel...” kritik Bima.

“Bawel aja lo kaya’ Mrs. Havisham...” aku menyebut karakter novel idola Bima. Walaupun tampangnya mencurigakan kaya’ penjahat kambuhan, Bima penggemar novel-novel sastra.

“Apa kabar tu si Ijah? Udah kawin belum?” tanya Bima lagi. Tanganku yang sedang memasukkan celana dalam ke ransel terpaku sejenak.

“Mana gue tahu. Sama kaya lo, selama 9 tahun, gua gak pernah kontak ama dia,” ujarku pelan.

“Masi gak bisa ngelupain dia? Mak, selama 10 tahun lo masi suka aja ama tu bocah. Kirain lo udah move on, mengingat banyaknya cewek-cewek yang lo ajak mesum-mesuman di sini,” Bima mengerling ke sekeliling kamarku. Aku mendelik.

“Kaya’ lo ga buka harem aja di apartemen lo,” omelku sinis. Bima tertawa. Kami memang tidak selalu curhat-curhatan ala cewek tentang kehidupan cinta kami. Or should I say, kehidupan seksual kami. Kecualiii... Untuk kasus-kasus yang sangat ekstrim. 

“Nanti kalo udah di Jakarta, sekalian aja lo cari si Ijah. Bikin akun Facebook. Pasti ada lah dia di sana. Secara diamiss ga-hool gitu,” Bima terkekeh geli.

         Bahkan saat aku sudah mengangkasa di dalam bussiness class Airbus A-380 British Airways menuju Hongkong, di telingaku masih terngiang kekehan Bima. Ingatanku melayang pada Ijah. Nama aslinya emang bukan Ijah sih, aku saja yang iseng menjulukinya demikian.   Dia adik kelasku dan Bima di SMA. Waktu aku kelas 3, dia baru saja masuk. Tampangnya yang sok innocent saat ospek membuatku dan Bima sangat hobi menjahilinya. Dengan rambut dikuncir 2, lengkap dengan pita warna-warni, dia lebih cocok jadi anak SD dibandingkan anak SMA. Ternyata, di balik tampangnya yang imut-imut, dia jago sekali memotret. Aku dan Bima yang memang hidup-matinya di ekskul Fotografi, langsung merekrutnya jadi anggota ekskul Fotografi di sekolah kami, yang saat itu, anggotanya cuma seiprit. Yah, sebenarnya cuma dua sih, aku dan Bima. Kakak kelas kami sudah pada lulus. Ijah jadi anggota ketiga. Dan dengan kesupelannya yang luar biasa, dia berhasil mengajak 19 orang temannya untuk bergabung. Adi, Marsha, Johan, Sonia, dan banyak lagi. Membuat ekskul Fotografi urung dibubarkan.

        Lama-lama, seperti kata pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino, aku dan Ijah jatuh cinta (ealah bahasanya!). Oooh, salah sih. Lebih tepatnya, aku jatuh cinta pada Ijah. Ijahnya? Mana aku tahu. Aku tak pernah bertanya. Meskipun, dari gejala-gejala yang tampak, Ijah juga merasakan hal yang sama. Atau aku saja yang GR? Entahlah. Yang jelas, selama satu tahun kita bersama, tak pernah terucap kata cinta. Kita main bareng, makan bareng, janjian bolos bareng, hunting foto bareng, bobok bareng (bobok dalam artian sebenarnya, bukan tanda kutip) saat hunting foto ke Pangandaran, daaaan segala hal bareng lain yang kami lakukan. Berulang kali aku mencoba untuk menyatakan perasaanku, tapi hanya berhenti di ujung lidah. Alasannya klise. Aku takut. Takut dia tidak merasakan hal yang sama. Takut perasaanku padanya justru merubah kebarengan kami. Simpelnya, aku takut ditolak. Soalnya, Ijah ini meskipun tampangnya tengil, pacarnya ganti-ganti. Saat pertama kali aku menyadari perasaanku padanya, Ijah punya pacar. Anak sekelasnya, namanya Reno, kalau ga salah. Cuma bertahan 6 minggu. Alasan putus, Reno kepergok cuci mata ama anak kelas 12. Ijah bilang, ia tak sudi diduakan, jadi sebelum itu terjadi, mendingan putuskan saja si Reno. Saat itu, Bima mendorongku untuk nembak Ijah, tapi aku beralasan, dia baru putus, aku nggak mau jadi rebound guy.  Ealah, tak sampai dua minggu kemudian, Ijah muncul di depan pintu sekretariat ekskul Fotografi dengan wajah sumringah bak pengantin baru, mengumumkan statusnya sebagai pacar baru dari Gilang, ketua ekskul Basket yang memang digilai para gadis di sekolah kami. Cukup heran juga mengapa dia menjatuhkan pilihan pada Ijah, membuat Ijah menjadi musuh bersama cewek-cewek mulai dari kelas 10 sampai kelas 12. Hebat juga si Ijah, rebound guy-nya aja sekelas Gilang. Bima menghiburku yang tengah dirundung duka, dengan mengatakan, gak bakalan lama deh, si Ijah ama Gilang. Nyatanya mereka pacaran cukup lama, 4 bulan 17 hari (yes, I’m counting), meskipun diwarnai intrik ala sinetron Indonesia. Ijah-Gilang tamat karena Gilang ikut orang tuanya pindah ke Taiwan, meninggalkan Ijah yang cukup patah hati namun enggan untuk melanjutkan hubungan jarak jauh dengan Gilang. Berat di ongkos, katanya, padahal kawinnya juga belum tentu. Bisa rugi bandar. Emang perhitungan banget nih anak. Paska Gilang, Ijah vakum cukup lama. Dan setelah hampir 5 minggu Ijah menjomblo, Bima kembali memaksaku untuk menyatakan cinta. Sebelum Ijah nemu rebound guy lagi. Terus terang, saat itu aku sudah merasa nyaman dengan Ijah. Kami menghabiskan banyak waktu bersama. Aku takut, Ijah tidak merasakan hal yang sama denganku dan menjauh. Yada yada, call me a coward. I am.

        Sampai akhirnya aku dan Bima lulus, Ijah tak juga punya pacar. Membuatku berharap, kalau dia juga merasakan hal yang sama denganku. Apalagi, saat aku akan berangkat ke London, dia memberi aku ransel Eiger keramat itu. Ransel yang, katanya, menghabiskan seluruh uang jajannya selama setahun mendatang. Cuma tersisa buat ongkos ojek dan beli cimol, akunya. Makanya, jaga baik-baik!, pesannya saat itu. Aku cuma tersenyum. Bangga karena cuma aku yang diberi ransel. Bima cuma dapat gantungan kunci. Melihat betapa berbeda kasta hadiah kenang-kenangan dari Ijah, membuatku berpikir untuk menyatakan perasaanku setibanya aku di London. Aku begitu mencintainya saat itu. Tapi, komunikasi kami nyatanya terputus. Aku dan Bima sangat sibuk dengan kuliah kami. Sibuk dengan kehidupan kami yang baru. Dan, satu alasan klise lagi, ponsel dan dompet tempat aku menyimpan semua data Ijah, hilang saat aku pertama kali menginjakkan kaki di London. Apakah dicopet (masa iya ada copet di London), atau terjatuh karena kecerobohanku, entahlah. Yang jelas, aku dan Ijah tak lagi berhubungan. Bima menyarankan untuk mencari Ijah di Friendster, yang saat itu sedang booming. Tapi aku alergi dengan situs-situs seperti itu, sampai sekarang. Demikian juga dengan Bima. We’re so not into social media.

        Saat aku pulang ke Indonesia sekitar 4 tahun lalu, untuk menghadiri pemakaman Mas Yudhis, kakak pertamaku yang meninggal karena kecelakaan, aku berusaha mencari rumah Ijah, murni berdasarkan ingatanku yang mulai kabur. Ketemu sih. Tapi rumah itu sudah kosong, lama sekali. Kata tetangganya, sejak ayah Ijah yang bekerja sebagai salah satu pejabat di Pemkot Jaksel pensiun, mereka sekeluarga pindah ke Depok. Aku tak pernah lagi berusaha mencari Ijah. Aku berpikir, ya sudahlah. Mungkin kami memang tidak ditakdirkan bersama. Aku sempat menjalin hubungan dengan beberapa orang, yang serius maupun tidak, namun tetap saja, jauh di dalam sana, kasih tak sampaiku untuk Ijah, masih tetap ada.

KRISHNA - DITA : SANG PEMILIK HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang