١: Meratapi Diri Sendiri

43 9 0
                                    

Jian masih termenung berdiri di depan jendela kamar nya dengan pandangan lurus ke luar sana, memandang setiap rintik rintik hujan yang Allah turunkan untuk menyirami dunia yang kejam ini. Ia sangat menikmati setiap butir butir air yang Allah turunkan, atau mungkin sangat mencintai anugerah Allah ini. Bagi nya hujan adalah anugerah, karena hujan yang membuat hati nya menjadi tentram dan tenang. Tak peduli hujan badai sekali pun Jian tetap menyukai anugerah ini. Ya mungkin berhubung ia adalah pengidap pluviophile. Jenis makhluk yang sangat menyukai hujan.

Jian mengembalikan buku novel yang ia baca ke dalam rak bukunya. Jian memilah milah buku yang akan ia baca selanjutnya, tapi ia urungkan. Jian kembali merenung, menyelami seluruh masa lalu kelam nya.

Jian ingat di mana saat ia masih menjelma sebagai berandalan kencur. Memang dulu Jian mengenyam pendidikan di MTs, sekolah islam. Tapi itu tidak bisa membohongi kalau Jian adalah anak yang super bandel. Dari ia yang sering melawan orang tuanya , mencuri uang mereka, membohongi mereka sampai ia yang sering balapan liar, malak dan pulang hingga larut malam. Itu semua yang Jian lakukan dulu. Tapi walaupun begitu Jian masih mempunyai sisi baik. Ia tidak seburuk buruknya berandalan yang biasa di temui di kota Jakarta.

Jian pun melihat penampilannya yang masih mencerminkan gelar yang ia punya dulu. Yaitu tindik di kedua telinganya. Jian yakin orang orang pasti berpikir jika ia bukan orang baik-baik karena tindik ini.

Lucu memang di saat orang hanya melihat penampilan seseorang tanpa mau mengetahui lebih dalam seperti apa hati nya.

Ciiiiiittt

Jian mendengar pintu kost di buka, Jian tau siapa yang membukanya. Lalu di lanjutkan dengan teriakan dari seseorang. Ia kenal baik dengan suara yang selalu ia dengar dari ia masih kecil. Ketika ia baru bisa berjalan.

Mungkin.

Tapi memang itu yang di katakan alm. Ibunya dulu.

"Bang!" ucap seseorang agak berteriak sambil berjalan menuju kamarnya.

Jian hanya menunggu kedatangan orang itu sampai di depan pintu kamarnya.

"Ngapain bang?" ucapnya sambil menatap Jian dari belakang.

Tidak Jian jawab karena itu memang tidak penting baginya. Sudah jelas ia sedang berdiri, bisa bisa nya orang ini tanya ia sedang apa? Terkadang Jian ingin menonjok wajah orang itu di setiap pertanyaan konyol yang selalu dia tanyakan. Kalau Jian tidak ingat orang itu adalah adiknya, mungkin sudah lama Jian lakukan itu.

"woi bang!" teriak adiknya yang mendorong Jian untuk memutuskan membalikkan badan menghadap nya.

Jian hanya menatap nya tajam. Mungkin menurut nya sangat tajam sampai membuat adiknya sedikit takut. Jian bisa lihat itu di mata nya.

"hehehe, pissss" ucap adiknya sambil menyeringai dan sedikit tertawa. Tidak lupa tangan yang dia acung kan dengan jari membentuk V.

Ya, dia adalah adik Jian satu satunya. Dia satu tahun lebih di bawah Jian. Umur mereka memang cuma berjarak 1 tahunan. Rengga kuliah di salah satu universitas di daerah tempat mereka merantau dan Jian bekerja.

Jian masih menatap nya tajam, lebih tajam dari sebelumnya.

Jian sadar jika sikap nya menjadi es ke semua orang sejak meninggalnya kedua orang tuanya serta ia memutuskan hubungannya dengan mantan kekasih nya dulu. Sikap nya bukan dingin lagi, tapi sudah seperti es. Jian juga lebih pendiam. Jian memilih hanya berkata lewat gerak tubuh nya dan berbicara dalam hati setiap apa yang ingin ia ungkapkan. Sangat jarang sekali Jian mengeluarkan kata-kata.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh" semakin tajam Jian menatap adiknya.

"Wa...waalaikumsalam"

Jian tersenyum kecil melihat adiknya yang menggaruk garuk bagian belakang kepalanya.

Rengga berjalan masuk ke dalam kamar. Meletakkan tas di samping ranjang dan merebahkan tubuh nya di ranjang.

Jian kembali menatap nya dengan mata elang.

"lu masih mikirin cewe MATRE itu bang?" tanya Rengga santai dengan penekanan di kata MATRE.

Jian menarik nafas panjang sampai akhirnya menarik kursi meja belajar untuk menduduki nya. Kembali lagi Jian berbicara di dalam hati.

Tidak bisa ia pungkiri panggilan yang Rengga yang sebutkan untuk wanita itu, ia tidak bisa marah karena memang itu nyata nya. Ntah kenapa Jian bisa sebodoh itu mempertahankan wanita itu sampai bertahun tahun.

"udahlah bang, gak usah lagi lu mikirin dia. Inget kata Iyan, gak ada gunanya bang" Rengga berbicara dengan nada yang mulai menunjukkan keseriusan.

Jain menundukkan pandangannya kebawah. Memang Jian cuek dengan apa yang wanita itu lakukan setelah putus dari nya. Ia tidak mau ambil pusing soal wanita itu. Untuk membicarakan nya saja Jian enggan.

Dengan melihat abang nya hanya diam, Rengga bangkit dari ranjang sambil melangkah keluar kamar.

"haish, payah lu bang."

Jian paham dengan kebencian adiknya ke wanita itu, makanya Jian hanya memilih diam. Jian juga bingung harus berkata apa. Jian ingat bagaimana adiknya berusaha supaya ia dengan wanita itu putus. Berusaha sangat keras, apa pun Rengga lakukan waktu itu. Tapi sekali lagi, ntah kenapa Jian tetap bertahan. Jian sendiri benar-benar sangat menyesal kenapa ia bertindak seperti itu.

Jian kembali sibuk meratapi apa yang terjadi dulu. Sambil menikmati suara rintik rintik hujan yang masih terus turun.







Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh


Terima saran dan kritikan

Syukron jiddan yang bersedia membaca.

Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jangan sampai bersikap hajir terhadap Al-Qur'an⚠

23 November 2018

Cinta Yang Ku LangitkanWhere stories live. Discover now