10th; Jealous, I'm Over Jealous.

Mulai dari awal
                                        

Ah, dia habis menangis, ya? Begitu khawatirnya ya dia padaku?



"Mark—"



"Kak, kalo mereka berani lagi bikin kakak kayak gini, panggil nama aku, oke?"



Aku menatapnya dengan bingung. "Lho? Emang kenapa?" tanyaku.



Mark mendecak kesal.



"Kakak nggak inget hah??!! Mereka yang bikin kakak pingsan begini!!!" Bentaknya padaku.



Aku terkejut sekaligus bingung. Ini pertama kalinya aku melihat Mark seperti ini.



Tiba-tiba, Mark menunduk, menyandarkan kepalanya di pundak kiri ku. Tangannya memegang lenganku dengan erat.



"I'm sorry..." Ucapnya.



Hei, aku sudah biasa dibentak.



"M-mark panik, tau..." ucapnya pelan. Suaranya pun terdengar lirih.



Ah, aku jadi tidak tega.



Sebegitu khawatirnya dia ya padaku?



Baru pertama kali aku menemukan manusia yang rela menghabiskan waktunya untuk mengkhawatirkan manusia lemah macam diriku. Ini membuatku bingung sekaligus bahagia. Bocah sialan yang tampan ini terlalu menggemaskan.



"K-kalo kakak kenapa-napa... Rasanya... Udah nggak punya harapan hidup lagi, kak."



Aku merasa pundakku mulai basah. Isakan tangisan juga mulai terdengar.



Yang tadinya aku merasa senang, sekarang tubuhku seketika kaku.



D-dia menangis...?



"Hei, hei!! Mark!!!"



Aku mendorong tubuhnya dari pundakku. Mark menangis layaknya anak kecil yang ditinggal oleh ibunya. Menggemaskan, namun aku juga khawatir.



"Udah, stop nangisnya, oke? Gue udah ada disini," ucapku sembari menepuk-nepuk pipinya pelan. Rupanya, ucapanku malah membuat tangisnya makin pecah.



Aku tersenyum sembari menghapus air matanya yang mengalir di pipinya. Benar-benar seperti bocah TK. Menggemaskan sekali astaga.



"Yaudah deh, gini aja. Keluarin aja dulu semuanya sampe kamu berhenti nangis, oke? Sini-sini, peluk lagi," ucapku sembari membuka tanganku, mengisyaratkan agar dia memelukku lagi.



Dan benar, dia memelukku lagi. Aku tidak bisa menahan senyumku sekarang. Rasanya aku sedang merawat anak TK, sumpah.



Kiranya satu menit kemudian, tangisannya berhenti. Ia pun melepas pelukannya. Aku segera menghapus bekas air matanya yang membasahi pipinya itu. Wajahnya benar-benar terlihat habis menangis. Matanya yang sembab, hidungnya yang merah, dan pipinya yang basah oleh air mata.



"Ya ampun... Kayak anak TK aja," ucapku.



Mark tertawa kecil, walaupun masih terdengar habis menangis. Itu membuatku sedikit lega, setidaknya.



Aku mengambil tissue untuk membersihkan bekas air mata dan lendir hidungnya. Ia berusaha menyedot kembali lendir hidung itu, namun aku mengomelinya karena itu kebiasaan yang tidak baik.



Sekiranya setelah tangisannya berhenti total...



"Kak?" tanyanya tiba-tiba.



[END] Seniority Program • MarkYongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang