16. Menyambut badai

Start from the beginning
                                    

“Jangan gila kamu! Kelakuan barbar kamu cuma bikin Vale nangis.”

“Vale!?”

“Valeraine, nama anak aku.”

Marshel hendak tersenyum mendengarnya tapi kemudian meringis oleh sengatan nyeri di bibirnya yang terluka. Lelaki itu kemudian menoleh ke Luna yang sepenuhnya fokus pada berkas-berkas yang dibawakan oleh sekretaris Marshel.

“Ngomong-ngomong dia mirip sekali dengan El?”

Luna mengalihkan perhatiannya dari berkas untuk balas menatap Marshel dengan bagian diantara alis yang tertaut. “Apanya?”

“Matanya terutama, El itu kalau nggak sering berjemur kan kulitnya putih kayak londo kampung, untung saja rambut sama matanya gelap.”

Luna mendengus sambil geleng-geleng kepala, “saat pertama kali melihat Vale … El mengatakan hal yang sama,” katanya sambil membuka laporan keuangan perusaan paling mutakhir. “Hanya saja … dia mengatakan matanya mirip denganmu.”

“W-Whata …!?”

“Jadi jangan cepat menghakimi hanya karena provokasi atau penilaian sekali pandang,” sambung Luna tenang. “Karena kalian berdua nggak ada yang benar-benar tahu siapa ayah Vale yang sebenarnya kan,” bahkan termasuk juga aku, sambung Luna dalam hati.

Marshel tidak menyahut hanya saja dari kerutan di dahinya tampaknya lelaki itu sedang berpikir serius dan mendalam.

“Sudah! Tak perlu ikut campur urusan pribadiku, lebih baik laporkan perkembangan terbaru perusahaan dan kemungkinan bentuk serangan lain yang mungkin terjadi.”

“Apa itu masih relevan … satu-satunya orang yang mungkin menyerang TIV adalah ayah anakmu, bukankah itu artinya kita sudah aman?”

“Aman your ass!” ketus Luna dengan wajah masam. Klaim sepihak El atas Vale justru awal dari bencana, apalagi lelaki itu justru menerima tantangan darinya.

“Maksudnya apa sih? Apa aku salah kalau berpikir seperti itu!?”

“Orang yang kamu pikir adalah ayah dari anakku itu masih jadi satu-satunya ancaman terbesar untuk TIV, jadi jangan lengah sedikitpun dengan situasi yang tenang, bisa jadi itu tanda-tanda sebelum badai.”

“Ckk … tampaknya cocok di ranjang bukan berarti cocok saat berbisnis,” sindir Marshel berusaha tampak serius saat mengatakannya, akan tetapi pendar jahil di matanya membuat Luna memutar mata jengah.

“Ngomong-ngomong aku jadi teringat sesuatu!”

Luna menoleh menatap sepupunya.

“Aku nggak tahu ini bakal jadi badai untuk TIV apa nggak, tapi beberapa hari yang lalu sekretarisku menerima pengajuan janji temu dari seorang anggota sekretariat DPR-RI.”

“Menurutmu apa motif oknum itu? Kamu yakin selama ini perusahaan tidak berhubungan dengan birokrat rakus yang ingin mendulang emas dengan menjual kebijakan?”

Marshel menggeleng pelan, tetapi sedetik kemudian seakan tersadar akan satu hal. “Saat ini undang-undang kesehatan yang baru sudah selesai di godok di DPR … pengesahan oleh presiden akan dilakukan minggu-minggu ini juga.”

“Apa hal itu ada hubungannya dengan kita?”

“Ada satu pasal yang disebut sebagai ayat tentang tembakau, dan itu menyangkut pengamanan zat aditif dalam tembakau.”

“Jadi intinya itu pasal yang merugikan industri rokok?”

Marshel mengangguk pelan. Dan Luna tidak merasa heran, dari 14 macam undang -undang yang bersinggungan langsung dengan tembakau dan produk turunannya nyaris tidak ada yang memberikan keuntungan atau perlindungan. Tembakau secara keseluruhan adalah komoditas yang hanya dilihat secara negatif kandungannya tapi dibutuhkan sumbangsihnya untuk menyokong perekonomian.

Pelangi Tengah MalamWhere stories live. Discover now