Luna mengernyit bingung memikirkan alasan dibalik pertanyaan El, meski begitu akhirnya dia menjawab. “Seri Shogun-nya, James Clavell.”

El meringis mendengar jawaban itu, “Kenapa kamu membaca buku itu?”

“Di beri oleh Om Dayat, PA  Papi.”

“Kamu suka bukunya?”

Luna menggeleng, “tapi guruku bilang nilai-nilai dalam buku itu bagus untuk pengembangan karakter,” Luna tertawa pelan, ada rasa malu dan terhina saat dia mengatakan hal itu, dan El sangat tahu apa sebabnya. Cara Luna saat mengendalikan emosi, menghadapi masalah dan menggunakan otoritasnya sebagai pewaris TIV dibangun berdasarkan ulasan tentang karakter-karakter dalam buku yang dibahas oleh guru literaturnya.

Ada banyak media yang bisa dipakai untuk mempengaruhi pola pikir anak dan tentu saja kelak berpengaruh pada karakternya, itulah sebabnya konten yang mengandung pornografi dan kekerasan di internet secara berkala dihapus oleh pemerintah.

Dalam kasus Luna, ketika anak seumurannya masih membaca majalah anak-anak bergambar dengan cerita tentang peri dan penyihir baik hati, Luna justru di doktrin dengan sastra agar mampu bertindak sesuai situasi, memahami taktik  menyusun skema kekuasaan juga membangun kekuatan dalam menghadapi setiap masalah.

Ingatan El juga masih sangat tajam untuk tidak melupakan saat mereka remaja dulu satu-satunya novel tentang cinta yang Luna baca adalah Love Story-nya Erich Seagal, yang tampaknya tidak berhasil membuat Luna mendapat asupan romantisme yang cukup untuk dipakai membalas perasaannya.

“Luv, bocah dengan kehidupan yang normal nggak membaca novel James Clavell di usia sedini itu.”

Luna memejamkan matanya mendengar kata-kata sopan tapi terdengar menyakitkan karena memang itulah kenyataannya. Dirinya adalah pewaris TIV, tidak ada bagian yang normal hanya dengan menggenggam realitas itu di tangan.

“Aku tahu masa kecil kamu nggak akan bisa kembali, tapi apa kamu ingin mewariskan beban serupa untuk Valeraine?”

“…” tidak ada jawaban atas pertanyaan itu, akan tetapi sorot mata kosong Luna saat membalas tatapannya sudah mengindikasikan jika kehidupan yang akan menyambut Valeraine di Indonesia tidak akan jauh berbeda dari apa yang sudah Luna jalani. Ketika Luna mengambil alih tanggung jawab atas TIV maka secara otomatis Valeraine menjadi calon pewaris berikutnya.

“Kamu boleh bilang ke aku kalau itu tidak akan terjadi … tapi suatu hari saat kamu mungkin lihat dia sedang bermain tanpa beban kamu justru akan teringat pada tanggung jawab besar atas TIV,” El meremas jemari Luna, memberinya pengalih perhatian kecil untuk keluar dari rasa kebasnya saat menyadari jika yang El katakan mungkin pernah dirasakan Papinya.

Selama sembilan tahun pelariannya, bukankah sang papi tidak pernah satu kalipun menyentuh kehidupannya dengan tuntutan tanggung jawab atas perusahaan, akan tetapi menjelang ajal papinya tahu jika tidak ada yang bisa dia percayakan untuk memegang tanggung jawab sebesar itu selain darah dagingnya sendiri.  

Tangan kanan El yang bebas terulur ke wajahnya, menyentuh sisi pipinya dan membuatnya mengangkat pandangan ke depan, tepat ke dalam telaga gelap milik El yang bagai mengundangnya untuk nekad melompat—menyerah atas rasa lelahnya.

“Luv, jika janji hanya memberimu beban yang tidak sanggup kamu tanggung … maka lepaskan janjimu dan biarkan aku yang memikulnya.”

Dan Luna hanya bisa merasa pedih di mata juga hati saat El memberinya penawaran yang tidak bisa dia terima karena janji yang harus terlebih dulu dia penuhi.

"Aku nggak bisa," lirihnya pelan. Hanya kali ini ... hanya saat ini saja dia akan memperlihatkan kelemahannya pada laki-laki dihadapannya.

Untuk sesaat El hanya diam terpaku mendengar penolakan itu, tapi dalam hitungan detik senyumnya yang tampak arogan justru mengembang. "Masih belum mau menyerah juga ternyata,"gumamnya lebih terdengar geli ketimbang jengkel menghadapi keras kepalanya Luna.

"Oke. Nggak apa-apa ... aku tahu menyerah dengan mudah itu sangat bukan kamu, Luv itulah yang membuat bertaruh denganmu terasa menyenangkan, kamu menyediakan banyak tantangan hanya dalam satu permainan."

"El," Luna memanggilnya datar, "bagaimana kalau kita melakukannya?"

Kalimat itu terdengar ambigu dan mau tak mau membuat lelaki itu mengernyit bingung, "apa?"

"Satu pertaruhan besar ... Dan ini akan jadi permainan terakhir kita untuk selamanya."

"Apa yang kamu inginkan,Luv?" Pertanyaan itu terdengar bagai tawaran murah hati seakan hanya dengan mengatakannya El akan memberikan segala yang Luna mau dalam sekejap mata.

"Kehidupan dan kesetiaan kamu  untukku, Vale dan TIV."

Mata El sama seperti senyumnya, dingin. "Oke."

"Kalau begitu katakan apa yang kamu ingin dariku?" Luna mengguncang pelan tangan El yang masih menggenggam jemarinya. Untuk sesaat tautan itu menjadi fokus mereka.

"Hal yang sama," El menyahut dengan mantap. "Kamu, Vale dan TIV harus berada dalam genggamanku."

Luna menahan nafas mendengar ambisi dan keyakinan dalam suara El. Untuk sesaat dia mulai mempertanyakan pilihan yang dia buat dengan menantang laki-laki itu.

"Saat aku menang ... kalian harus menjadi bagian hidupku," tegasnya dengan penuh keyakinan. "Keluargaku."

tbc

Cieee yang pengen berkeluarga 🤣🤣
Babang El modusnya ketahuan amat, sih Bang .

Parah memang pasangan ini ... Kayaknya mereka gak kenal kata2 semacam I Love U gitu kali ya sampe buat cari jodoh aja mesti pake taruhan2 dulu 😂😂😂. Babang El pake ngatain Luna kurang asupan romantis padahal dia juga sama aja sih. 

Kadang aku sampe mikir ini bakal jadi cerita cinta macam apa dengan ruwetnya emosi mereka berdua ini , tapi memang ada hubungan yang dibangun bukan hanya dengan kata2 cinta. Hubungan yang bikin frustasi tapi memang berkesan sampai mati (Elah curhat). So yang ngarep obralan kata2 cinta dari Bang Bret harap menyingkir jauh2 ... Itu jambret gak pernah ngobral apapun, kalo nggak ngerampas dia taunya yah main sampai menang.

So ... Mari kita ikut taruhan, siapa yang bakal menang. Emak pegang Luna yaaa ... Siapa yang berani pegang El??



Pelangi Tengah MalamWhere stories live. Discover now