BE A GUARDIAN | EXTRA-FILE

Start from the beginning
                                    


***





Awal bulan Desember. Musim dingin yang tidak berarti apa-apa bagiku.

Aku keluar dari minimarket terlambat beberapa menit dari biasanya akibat ikut antre di belakang barisan panjang pembeli. Kasirnya hanya satu orang. Oke, itu tak penting untuk dibahas.

Aku mendengar bus berhenti. Seseorang turun, melangkah cepat. Arahnya berasal dari pemberhentian bus di penghujung kompleks.

Kututup kepala dengan tudung jaket, kemudian menyeberangi jalan dengan waswas.

Gadis itu—seseorang yang turun dari bus tadi, tergesa-gesa sambil memeluk sekantong belanjaan dari supermarket. Ia tidak melihatku. Ia tidak memedulikan sekeliling. Kami berjalan beriringan di atas trotoar berbeda, dipisah oleh jalan yang lengang. Aku belum siap menunjukkan diri. Belum siap lebih dekat dengan Mackenzie, secara teknis. Mr. O'Conner menyuruhku mengawasi. Sekilas tidak ada aura bahaya dari gadis itu. Aku serius, memang tidak ada.

Kecuali bila kau lich dan kau haus dan Mackenzie kebetulan lewat di depanmu.

Jika ingin menunjukkan diri pada Mackenzie, maka risiko terbakar dahaga harus dibiasakan sejak sekarang. Jangan mencoba yang ekstrem dulu, mengendus tubuhnya satu atau dua kali misalnya, karena bisa-bisa terjadi radang tenggorokan akut, atau sesuatu yang lebih berbahaya lagi.

Aku mulai dari yang paling aman, yakni mengawasinya setiap ia pulang sekolah. Ketika ia pergi ke sekolah pagi harinya, aku melakukan hal sama. Tidak ada kamera CCTV di tiang lampu sepanjang trotoar kompleks. Itu cukup melegakan bagi egoku, tetapi akan menjadi masalah bagi warga yang percaya rasa aman memihak mereka. Seseorang harus menyarankan pemasangan CCTV secepatnya.

Kalau Mackenzie sudah naik bus, aku sedikit lega. Tapi bagaimana seandainya ia bertemu lich di perjalanan dalam bus, di sekolah, bahkan di supermarket?

Ugh, tenang. Lich takkan muncul di siang hari.


***




Dua bulan berlalu.

Pagi itu, salah satu saluran TV melaporkan berita kehilangan orang di berbagai tempat. Bel rumahku berbunyi. Kubuka pintu penuh curiga. Tamuku adalah pria berumur empat puluhan berpakaian rapi.

"Aiden Carell," sapanya.

"Ya."

"Kau tidak pergi ke sekolah." Ia masuk melewatiku dan melepas sepatu. Seketika aku sadar pria itu si penelepon. Aku mengikutinya ke ruang TV.

"Aku baru saja ingin pergi sekolah," kilahku sambil menatap TV.

"Kalau kau butuh bantuan, kau tinggal menghubungiku." Ia lalu mengikuti arah pandanganku. "Keadaan memburuk. Pengisap darah muncul di mana-mana."

Aku semakin mengkhawatirkan Mackenzie. Harus ada yang melindunginya di sekolah, di jalan, di mana pun. Kendati sang pelindung merupakan manusia setengah lich, bukan berwujud malaikat bersayap.

"Ini formulir kepindahanmu." Ia meletakkan berlembar-lembar kertas dan pena di mejaku. "Isilah secepatnya. Setelah ini aku harus mengajar."

Tanpa pikir panjang aku langsung mengisi kertas-kertas itu dengan tulisanku yang jelek. Mr. Cheney menungguku. Ia berdumal tentang sesuatu, yang kedengarannya seperti mengeluhkan perayaan valentine yang jatuh pada hari ini. Murid-muridnya berencana mengadakan acara sampai malam.

Saat aku sampai di lembar kertas terakhir, Mr. Cheney rupanya baru menyadari ruanganku yang masih dalam keadaan gelap. Ia berdiri lalu menyibak tirai tebal jendela. Ruangan menjadi terang.

"Memangnya kau ini lich, heh?" candanya.

Setengahnya, sahutku dalam hati.

"Sinar matahari pagi bagus buat orang pucat sepertimu, Nak. Bukalah tirai jendela sesering mungkin."

Calon guruku itu bahkan tak curiga; tadi aku mampu menulis tanpa penerangan.

Semua formulir selesai kuisi. Mr. Cheney berjanji akan menyalin data-dataku dan ia mendaftarkanku secara online. Aku sempat melihat pistol pembunuh lich terselip di antara buku-buku dalam tasnya sebelum ia beranjak pergi.

Mackenzie tak mungkin mengikuti acara yang diadakan teman-temannya. Sekarang ia lebih berhati-hati. Aku sangat yakin. Apalagi kemarin malam saat berdebat dengan Lauren, ia memperingatkan saudari tirinya itu agar jangan keluyuran malam-malam.

Tapi aku tetap meluncur ke sekolah Mackenzie—yang akan menjadi sekolah baruku. Sore itu hujan turun, bertepatan dengan jam kepulangan murid-murid di sana. Di balik jas hujan transparan, aku mencari-cari gadis berambut gelap itu.

Aku menemukan Mackenzie di antara kabut hujan. Ia tidak melihatku yang berada di seberang jalan. Orang-orang yang berteduh di halte sedikit demi sedikit berkurang karena dapat jemputan. Tinggallah ia sendirian di halte.

Inilah yang kukhawatirkan. Aku mengumpat pada bus yang terlambat datang.

Sebuah Porsche merah berhenti di depan halte. Aku mendengar dua gadis berteriak-teriak. Mereka ingin mengajak Mackenzie pulang sama-sama.

Mackenzie setuju naik Porsche mereka. Aku mengikuti di belakang. Harus kupastikan mereka mengantar Mackenzie selamat sampai di rumahnya. Namun, mereka menuju sebuah departement store.

Hari menjelang petang. Aku masih menunggangi motorku di parkiran departement store, menanti mereka. Akhirnya mereka keluar setelah hujan berubah gerimis.

Di perjalanan, gerimis digantikan butiran salju. Aku mengutuk dua gadis kelas senior yang membawa Mackenzie itu. Bukannya mengantar pulang, mereka malah pergi lagi ke tempat lain. Kali ini sebuah restoran.

Tak banyak yang bisa kulakukan ketika mereka makan malam. Denting benda logam dan gelak tawa terdengar. Aroma beragam masakan tercium. Kututup kepala dengan tudung jaket. Bersembunyi di bayang-bayang pohon di seberang restoran, kupandangi gelisah salju sehalus ujung cotton buds yang jatuh dari langit.

Pintu restoran terbuka, seseorang keluar.

Mackenzie, berjalan lambat-lambat di antara mobil-mobil yang parkir sembari menengadah ke langit. Butir salju mencair mengenai hidung dan pipinya. Aku mendesah sebal walau hatiku berdebar. Ia telah membuatku pergi ke tempat sejauh ini.

Gadis itu menunggu dua temannya selesai. Ia serius mengecek ponsel sambil bersandar di salah satu mobil. Tiba-tiba tiga pemuda menghampirinya.

Aku sudah merasa curiga bahkan sebelum salah seorang pemuda menanyakan apakah Mackenzie sedang sendirian. Dengan cepat Mackenzie beranjak. Aku menggeram melihat pemuda yang lain menyentuh pundak gadis yang berusaha menghindar seraya menunjukkan sikap galak.

Tidak selalu lich, terkadang bahaya juga muncul dari kalangan manusia sendiri.

Terhadap tiga manusia rendah itu, sebetulnya aku ingin menghajar mereka sampai mereka kesulitan berjalan.

Aku mengingatkan diri sendiri agar tidak mengamuk. Barangkali mereka hanya iseng. Tidak sungguh-sungguh jahat. Mereka tak berani bertindak terlalu jauh. Restoran merupakan tempat umum.

Secepat kilat kutarik Mackenzie sebelum ia benar-benar tersudut di depan sebuah mobil. Detik berikutnya, kuhantamkan siku ke belakang leher tiga pemuda sialan itu sekaligus. Mereka melenguh kesakitan.

Mackenzie terkejut menatap mereka, kemudian menoleh ke arahku. Semoga sosokku di balik tudung jaket tidak ketahuan. Ketika perhatian gadis itu beralih ke seorang laki-laki yang baru keluar dari restoran, aku pergi. Bersembunyi lagi.

[ ].







TREASON (Wattys The Worldbuilders 2018)Where stories live. Discover now