12. Miliknya

Mulai dari awal
                                    

“Setuju,” sahut Luna.

“Jadi kali ini apa yang akan kita pertaruhkan?” si pemuda ceria bertanya pada teman-temannya.

“Harley baruku,” Alam dengan cepat merespon, keyakinannya tidak terkalahkan membuatnya berani mempertaruhkan hal tersebut.

“Aku akan mentransfer langsung uang sebanyak 5 ribu dollar pada siapapun yang menjadi pemenang  mayoritas dalam lima set pertarungan,” Raja balas menimpali.

“Dan aku,” pemuda yang akhirnya El tahu bernama Tenggara Hariwangsa setelah memenangi permainan pertamanya. “Mempertaruhkan uang senilai dengan seratus gram emas  untuk permainan ini.”

El menelan ludahnya kelu, disaat dirinya hanya karena menjambret beberapa gram emas saja harus berakhir di bawah kuasa Luna, anak-anak keturunan uang lama ini malah bisa melakukan apa saja sesuka hati mereka.

“Bagaimana denganmu?” Alam bertanya seraya menatap El sambil tersenyum lebar.

“Aku yang mewakili pertaruhan untuk El,” potong Luna setelah dilihatnya El hanya terdiam di belakangnya.

“Dan apa yang kamu pertaruhkan Luna?”

“Keperawananku.”

Di detik yang sama usai Luna mengatakannya tarikan keras di tangannya membuatnya terseret keluar dari ruangan perpustakaan.

“Apa kamu sudah gila!?” begitu mereka tiba di luar, El meneriakkan kata-kata itu dalam satu tarikan nafas. “Kamu tahu apa yang kamu katakan?”

Tahu,” Luna menjawab datar. Ketenangannya membuat El tak habis pikir, seakan baginya mempertaruhkan hal itu sudah biasa.

“Kita pulang saja,” El kembali menyeret Luna bersamanya.

“Bukankah kamu suka melakukannya?”

“Apa?”

“Hal-hal illegal seperti merampas emas orang lain!”

El berbalik dan menatap Luna dingin. “Aku melakukannya karena nggak punya pilihan lain untuk hidup, tapi kamu melakukannya untuk permainan konyol.”

“No. Aku sedang memberimu kesempatan untuk merampas milik orang lain tanpa merusak reputasimu.”

“Kalau kamu lupa kamulah yang akan rusak reputasinya karena mempertaruhkan keperawananmu,” tuding El sengit.

“Kalau begitu lindungi aku, lindungi dengan kenekatan seperti yang kau lakukan saat merampas kalung Mbak Sarti demi adik-adikmu di panti.”

El menggeleng bimbang. “Aku nggak bisa … aku nggak bisa melakukannya. Terlalu beresiko keahlianku nggak sebanding dengan mereka, kalau aku kalah ….”

“Kamu hanya boleh kalah dalam dua set pertama … pakai kekalahanmu untuk mempelajari taktik yang mereka pakai dan tiga set setelahnya kuasai keadaan.”

“Aku nggak mau.”

Luna menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis, “ kalau kamu nggak bersedia turun dan bermain itu sama dengan kekalahan total 5 set berturut-turut, dan pemenangnya akan mengklaimku.''

El mencengkram rambutnya frustasi.

"Disini bukan kamu yang membuat pilihan El,” bisiknya seraya melangkah kembali ke dalam ruangan perpustakaan.

Di belakang punggungnya Luna mendengar El menggeram murka, tapi kemudian terdengar langkah mengekor di belakang Luna.

Dan seperti yang Luna katakan, El hanya kalah dalam dua set pertama dan memenangkan seluruh set yang tersisa. Memenangkan semua pertaruhan besar yang dilakukan Alam, Raja dan Gara dalam semalam. Juga berhasil mempertahankan kehormatan Luna.

“Aku membencimu untuk apa yang kamu lakukan malam ini!” di dalam mobil, El meneriakkan itu pada Luna yang hanya menarik sudut bibirnya sekilas seraya tetap duduk tenang disebelah El yang terus terusan memakinya dalam rentetan kata-kata kotor tiga bahasa.

Begitu tiba di depan tangga rumah keluarga Tejakusuma, El menahan Luna yang hendak berlalu begitu saja.

“Jangan pernah lakukan ini lagi padaku!!” tatapan El, juga suaranya jelas memberi Luna peringatan yang tidak main-main.

“Oke!” sahut Luna singkat kemudian kembali hendak berbalik.

Sekali lagi El menahan gerakannya.

“Dan karena aku yang memenangkannya … kau tidak boleh memberikannya untuk siapapun tanpa seijinku.”

Luna menatap El bingung, “Apa?”

“Apa yang kau pertaruhkan malam ini!” bentaknya kesal.

“Oh!”

“Apa kau paham!”

“Oke!”

El memelototi Luna sekali lagi, “Apa tidak ada kata-kata lain yang bisa kamu katakan selain, ‘apa’, ‘oh’, dan ‘oke’!?” sinisnya kesal.

Luna tersenyum lebar, menampilkan satu lekukan dalam yang di dekat tulang pipi kanan bagian atas. “Selamat malam!” katanya seraya berlalu dari hadapan El yang terpaku bagai orang tolol hanya karena melihat lesung pipinya.

“Cewek yang satu itu,” gerutunya . “Aku benar-benar membencinya!”

Bagaimana Luna bisa melupakan hal itu, disaat dirinya justru selalu mengingatnya. Padahal hal itu hanya satu bagian kecil yang pernah dia lakukan untuk Luna, bahkan ada malam lain yang tidak pernah bisa dilupakannya karena memberinya kebahagiaan seluas jagad raya dan setinggi angkasa … malam yang dibayarnya dengan fitnah, rasa sakit dan hinaan.

Semua itu tidak ada apa-apanya sampai ketika dia mendengar seorang bocah memanggil wanita yang untuknya El rela memberikan segalanya. Memanggil dengan panggilan yang sebenarnya adalah hak dari anak-anaknya kelak.

“Sama sekali nggak lucu,” El tertawa pedih saat berulang kali mengatakan hal yang sama di sepanjang jalan pulang ke resort. Dirinya mengabaikan ajakan Tygo untuk turun menikmati pesta di pantai yang pagi tadi mereka kunjungi.

El hanya ingin mengurung diri, berusaha meredakan rasa sakit pada jiwanya … namun dalam keheningan saat dia mulai tersiksa sendiri oleh pikiran yang mengatakan jika betapa sia-sianya yang sudah dia lakukan dalam hidup, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ditahan lagi.

tbc

Lah lah lah ... Jadi gini toh ceritanya.
Ini baru bagian pertama dari part ini ya, bagian dimana El ngegalau bebas.

Pinter banget cara Luna mendidik El buat pinter ngambil peluang dan jadi tangguh. Meski  cara Luna manipulatif tapi  dititik ini El nggak punya pilihan apapun selain berjuang.

El juga pinter deh ... Suka banget cara dia mengklaim Luna 😂😂😂--jd pengen deh.

Luna sama Vale belum muncul . Mungkin di part depan ... Siap2 aja Luna disiksa El lagi.🤣🤣🤣🤣🤣

Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang