Dua petugas yang menjaga pintu menyapa Luna dengan penuh rasa hormat sebelum membukakan sepasang daun pintu lebar yang menghubungkan foyer dengan ruangan utama.

Begitu pintu terbuka pemandangan yang El lihat pertama kali hanyalah aula super luas yang lengang. Mereka tidak lama berada di sana karena Luna terus melangkah menaiki tangga menuju ke lantai atas ke tempat yang sudah diberitahukan sebelumnya oleh resepsionis, ruangan baca.

Berbeda dari foyer dan aula, ruangan baca klub mewah itu di desain dengan gaya mediteranian yang didominasi elemen dan warna-warna khas kayu yang lebih nyaman untuk mata. Jajaran buku tersusun rapi hingga ke langit-langit dan jendela utama yang lebar mengakomodir cahaya dengan baik untuk memberi penerangan alami dalam ruangan.

Aroma khas lilin lebah yang kompleks namun manis padu dengan kelembutan aroma mirip bunga melati namun terasa lebih segar dan mampu menghadirkan nuansa jejak musim semi yang basah, menyambut mereka. Bertahun-tahun kemudian—setelah dirinya berhasil masuk ke dalam klub sebagai individu mandiri—El baru tahu kalau itu aroma milik bunga lily lembah.

Di dalam ruangan tiga pemuda berkumpul mengelilingi sebuah meja kayu bundar. Di tangan mereka masing-masing terdapat kartu bridge dan hanya dengan sekali pandang El bisa membaca karakter ketiganya dari cara duduk mereka.

“Yo Luna,” pemuda yang duduk menghadap langsung kearah pintu jadi orang pertama yang menyadari kehadiran Luna dan El, usianya tampak lebih tua beberapa tahun dari yang lain, terlihat seperti mahasiswa tahun akhir yang pemalas dan sengaja memperlambat mengerjakan skripsi. Di bibirnya terselip rokok yang tidak dinyalakan, rambutnya dipotong rapi disisi kanan dan kiri akan tetapi bagian tengahnya dibiarkan memanjang dan disisir rapi kebelakang sebelum dikuncir dengan model top knot.

“Om Alam,” Luna balik menyapa pria itu.

“Tumben lama,” tegurnya lagi. “Dan tumben bawa teman.”

Luna tersenyum dan melihat sekilas pada El. “Aku nggak mau main sendiri, jadi malam ini aku bawa temen.”

“Dan temanmu itu … Ciel Alferro?” suara datar tanpa riak emosi dari sisi kanan laki-laki yang dipanggil Luna dengan nama Om Alam itu membuat El sedikit kaget. Tapi kekagetannya tidak berlangsung lama saat dia mengetahui siapa orang yang memanggil namanya.

Wajah tampan namun dingin seakan nyaris tak beremosi itu adalah milik Rhapsody Raja Rembaka, putera sulung pemilik bank swasta terbesar di Indonesia yang keluarganya di dapuk sebagai orang terkaya di Indonesia selama dua belas tahun berturut-turut. Raja setahun lebih tua dari El dan Luna dan sudah menyelesaikan sekolahnya tahun lalu. 

“Menarik,” tanpa menunggu jawaban Luna, Raja memberi pendapatnya sendiri.

“Jadi apa yang bisa kami bantu?” kali ini pemuda ketiga—yang wajah serta penampilannya menunjukkan karakternya yang positif dan ceria—bertanya.

Luna mendekat dan duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa di sana. “Aku ingin kalian menantang El memainkan ini.”

Alam mengangkat kepalanya menatap skeptis pada El, “Apa dia bisa?”

“Sebatas tekhnik dasar saja,” El manjawab datar.

“Tapi dia seorang fast learner yang baik,” Luna melakukan pembelaan yang disetujui anggukan Raja Rembaka yang memang tahu sepak terjang El di sekolah mereka.

“Ohke … baiklah, tapi aku nggak akan membuat ini jadi permainan lembut sekalipun untuk pemula, itu membosankan, sedikitpun aku nggak akan memberi belas kasihan pada siapapun,” terang Alam santai.

Pelangi Tengah MalamWhere stories live. Discover now