Reason [2]

4 1 3
                                    

Sementara itu, jauh dari tempat Galih Andrea berada pada waktu yang sama... "Maya!" Suara panggilan seperti perintah itu terdengar dari lantai bawah.

"Sebentar mah! Lima menit lagi ya please..."

Seorang gadis bernama Amarilis Mayasari masih berkutat dengan obeng di tangannya. Ia berdiri persis di depan sebuah teropong bintang lengkap dengan tripod dengan lensa 70mm yang panjangnya kurang lebih dua meter. Dengan terampil ia membuka semua sekrup. Kini bagian dalamnya sudah terlihat dengan kedua lensa yang ia mau ganti salah satunya.

Maya kemudian meletakan cangkang teropong di atas meja belajar bersama tumpukan alat elektronik, kabel dan accessoris lainnya. Matanya sibuk mencari dan mengingat dimana lensa barunya itu ia letakan.

"Apakah kamu tau dimana aku meletakan yang baru?" Maya terdengar bicara sendiri.

Tetapi kemudian terdengar balasan dari atas meja. "Maaf, saya belum bisa menemukan yang anda cari saat ini. Dibutuhkan piranti dan plugin Android Vision." Sebuah ponsel yang berbicara menjawabnya.

"Ahh... Android Vision terlalu mahal. Aku akan mencarinya sendiri." Dengan sepasang mata pemberian dari Tuhan Maya mencarinya lagi secara manual. Ia mengitari setiap sudut kamarnya. Laci meja yang penuh dengan lembaran struk dan bekas-bekas barang elektroniknya yang sudah rusak. Buku-buku pelajaran usangnya, serta lemari kayu tua yang berisi baju-bajunya yang penataanya sungguh tidak rapih.

"Maya, kamu telah kehabisan lima menit." Smartphone di atas meja kembali bicara.

"Hitung semenit lagi!" Perintah Maya.

"Saya mencatatnya." Jawab smartphone yang sudah lama menjadi asisten digital pribadinya itu.

"Ah! Ternyata di atas tempat tidur!" Maya akhirnya melangkah tiga kali dari tempatnya berdiri di depan lemari untuk dapat meraihnya. "Masuk akal juga. Tempat tidur berseprei lembut. Tidak akan membuatnya lecet."

Secepat kilat Maya mengambil lensa okuler itu dan memasangnya ke dalam teropong bintang kesayangannya. "Semoga malam ini langitnya cerah. Lensa baru ini pasti membuatku melihat planet-planet dengan lebih jelas." Harap Maya kepada dirinya sendiri.

"Maaf Maya, malam ini diperkirakan akan hujan. Curah hujan delapan puluh satu persen dan kelembapan delapan puluh tiga persen dengan kecepatan angin sembilan belas kilometer per jam." Smartphone nya itu menjawab karena merasa Maya mempertanyakannya dari intonasi suaranya.

"Astaga. Seharusnya aku bergumam dalam hati saja." Maya mendumel saat mengangkat cangkang teropong dari meja.

"Satu menit habis. Mau kuhubungkan dengan ibu untuk mendiskusikan tambahan waktu?"

Maya menggeleng sembari menyocokan cangkang dengan kerangka teropongnya. "Jangan! Aku sudah hampir selesai." Matanya tetap fokus ke teropong saat tangannya sibuk meraba dimana ia meletakan sekrup untuk mengencangkan kembali teropong bintangnya.

"Maya!" Akhirnya seorang wanita dengan rambut lurus sebahu dan sudah banyak beruban itu sampai di depan pintu kamar. Tangannya berpegangan di tuas pintu.

"Sebentar mah. Aku harus mengencangkan dua sekrup lagi."

"Anak gadis ibu katanya mau belajar masak?"

"Selesai." Tidak sampai tiga detik berjeda Maya kemudian mengucapkannya.

"Makan malam sebentar lagi tiba. Kita harus mulai masak dari sekarang kalau tidak mau telat makan. Kamu kan tau papa tidak boleh telat makan karena penyakit lambungnya."

Maya segera menepuk telapak tangannya di kedua paha. Menyebabkan celana piyama itu terkena noda debu sedikit. Maya kemudian menoleh untuk melihat wajah ibunya sembari tersenyum puas. "Selesai kok! Ayo kita ke dapur mah."

"Cuci dulu tangannya!" Perintah ibunya.

"Siap." Jawab Maya sembari mengacungkan jempol dari kedua tangannya.

Ibunya itu menggelengkan kepala melihat kelakuan anak gadisnya. "Laki-laki aja pasti kalah kalau lomba urusan pertukangan dari kamu."

"Ah mama bisa aja. Papa dan mama kan sudah mengijinkanku untuk meraih dan melakukan apa yang aku senangi." Maya berkilah.

"Ya tapi kamarmu ituloh. Setidaknya rapikan. Pakai satu sudut saja untuk penelitianmu itu. Yang dekat jendela itu loh." Seorang mama yang baik hati menunjukan tempatnya dengan tangan yang terbuka.

Tetapi Maya segera mengambil celah diantara pintu dan sosok ibunya yang sedang berdiri. Maya segera meluncur dengan lincah ke arah tangga dan berlari turun dengan tergesa. "Sudah ah mah. Aku mau ke dapur."

"Awas jatuh!" Ibunya memperingati dari atas.

Sepersekian detik kemudian Maya telah berada di dapur. Tepatnya di depan wastafel yang sensornya mulai mendeteksi kehadiran kulit yang butuh dicuci. Karena teksturnya adalah kulit maka air yang mengalir tidak begitu tinggi tekanannya. Sabun juga otomatis keluar menyesuaikan dengan jenis kotoran apa yang menempel disana.

"Sudah mah!" Maya segera menoleh ke belakang dan menjumpai sosok mama yang baru saja beres menuruni anak tangga.

"Coba lihat di layar kulkas, apa saja bahan yang sudah dekat kadaluarsa." Perintah ibunya.

Maya melangkah mendekati kulkas sambil mengelap tangan basahnya ke pinggang.

"Maya, pakai serbet dong ngelap tangannya." Keluh ibunya saat sampai di dapur.

"Bajunya udah kotor mah, jadi sekalian aja." Maya tersenyum. "Abis ini mandi bajunya dimasukin ke mesin cuci kok." Ia melirik sesaat ibu di belakangnya lalu kembali memperhatikan layar kulkas sembari cekikikan kecil. Ia menyentuh layar itu. Menyortirnya dari tanggal kadaluarsa dengan urutan ascending.

"Ada susu, ikan kembung, jamur enoki korea, sama kangkung sih ma kata kulkasnya."

"Kamu kepikiran mau masak kapa kira-kira dengan bahan-bahan itu?" tanya ibunya.

Maya menggelengkan kepala. "Kan bisa tanya ke google mah?" Sambil mengangkat kedua bahunya.

[2]

Lensa okuler adalah lensa yang terletak di bagian paling atas dan dekat dengan mata pengamat. Lensa ini berfungsi untuk memperbesar bayangan yang dihasilkan dari lensa objektif.

Interplanetary EquilibriaWhere stories live. Discover now