Jodoh // 01

29.7K 706 12
                                    

Macet adalah hal yang mungkin paling tidak disukai seluruh lapisan masyarakat di dunia. Dan sekarang, sudah dua jam lebih Luna terjebak macet di salah satu jalan protokol di ibu kota. Alhasil, wajahnya yang sebelumnya terpancar semangat, kini telah tertekuk berlipat-lipat.

 Calluna Arousha Rafiqah, seorang gadis berusia dua puluh dua tahun yang baru saja menuntaskan program magisternya dari universitas ternama di italia dan menekuni bidang desain busana sejak ia menginjak sekolah menengah bersama sang ibunda.

Luna melirik jam tangannya yang jarum panjangnya sudah menunjukkan angka dua belas  dan jarum pendeknya menunjukkan angka delapan. Kemudian ia mendesah pelan.

“Pak Nathan, cari masjid dulu ya, Pak. Anterin aku sholat dhuhur dulu.”

“Oke, Mbak.”

Luna mengambil ponselnya dan menekan angka yang sudah benar-benar di hafalnya. Ia ingin mengabari kakak kembarnya, Calla yang sedang menungguinya di salah satu butiknya yang baru dibuka untuk melihat gaun pernikahannya yang telah ia rancang sejak Calla bertunangan dengan Michael, seorang mualaf berdarah Indo-Jerman.

Assalamualaikum, Luna?” Suara lembut Calla menyapanya. Membuatnya tanpa sadar tersenyum simpul.

“Waalaikumusalam. Calla, aku cuma mau ngabarin kamu, ini aku kejebak macet dari jam sepuluh tadi. Jadi mendingan kamu kemana dulu gitu sama Michael.” Aku bergerak mengambil mukena yang ada di sebelahku kemudian bergegas untuk keluar mobil karena mobil yang dikendarai Pak Nathan berbelok ke arah masjid yang cukup besar diantara gedung-gedung perkantoran.

Gitu ya?” Suara lembut Calla kembali terdengar. “Kalo gitu, aku sama Mas Michael mau keliling-keliling dulu. Nanti kalo kamu udah sampe, kabarin ya, Lun.”

Luna mengangguk pasti, walaupun ia tahu Calla tidak akan mengetahuinya. “Yaudah have fun, ya! Jangan lupa nanti bawain makanan.” Luna terkekeh mendengar tawa Calla diseberang.

Iya, dasar tukang makan! Assalamualaikum, Lun.”

“Waalaikumusalam, Calla.”

---------------------

Luna menatap hujan yang tengah deras-derasnya. Bodohnya, saat ia tahu bahwa Pak Nathan akan mencari rumah makan untuk makan siang, ia tak ikut membawa payung yang ada di bagasi mobil mamanya.

Sekali lagi ia melirik ke arah parkiran untuk yang kesekian kalinya, barang kali Pak Nathan sudah sampai. Namun, pelataran parkir masjid itu masih kosong.

Apa mungkin Pak Nathan parkir di tempat lain?

Luna membenarkan suara hatinya itu. Dari pada ia berdiam diri seperti patung, ada baiknya ia berkeliling masjid, barang kali ada pelataran parkir lain. Namun, belum sempat ia melangkah, ponselnya berdering.

Luna mengambil ponselnya yang ada di saku tempat mukena dan menatap layar ponselnya. Pak Nathan.

“Halo, Pak Nathan.”

Halo, Mbak Luna. Ini Pak Nathan udah di parkiran. Mbak Luna disebelah mana ya?” Kontan Luna menoleh kembali ke parkiran. Namun, tetap saja kosong.

“Loh, di parkiran mana, Pak Nathan? Ini Luna di serambi Masjid pas di depan Pak Nathan turunin Luna tadi.” Balasnya sambil tersenyum. Mungkin Pak Nathan lupa, ia maklum karena usia Pak Nathan juga sudah melebihi Papanya sendiri. Kemudian Luna melanjutkan niatnya untuk mengelilingi masjid. Mencari pelataran parkir lainnya sambil menenteng sepatu flatnya.

Loh?

Lagi-lagi Luna terkekeh geli mendengar suara Pak Nathan yang kebingungan. “Yaudah, Luna ke posisi Pak Nathan sekarang, ya. Pak Nathan jangan kemana-mana.”

FUTURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang