3. Pertemuan kembali

Start from the beginning
                                    

Luna bukan jenis wanita yang nyaman berbasa-basi, tapi dia tersenyum tipis pada si pria misterius sebelum menjawab pertanyaan tanpa menyembunyikan keengganannya untuk mengobrol, "Di dunia nyata, pria yang peduli pada sepatu wanita ... jika bukan gay, biasanya punya fantasi seksual terselubung dalam pikirannya."

Gelak samar pria itu menggetarkan udara disekitar balkoni, perlahan dia mendorong masquerade-nya ke atas, melewati hidung dan dahinya yang sempurna, bertengger mantap pada rambutnya yang dipotong pendek.

"Masih sama seperti dulu rupanya, sang puteri masih pintar berkata-kata"

Sentuhan lembut dalam suara berpadu dengan tatapan hangat dari mata berhias iris gelap itu membekukan Luna, menghentikan putaran waktu, dan menyeretnya kembali ke masa lalu. Masa-masa di mana pemilik semua keindahan itu pernah menjadi bagian kisahnya.

"El!" Nama itu seakan tak pernah terlupakan, keluar begitu saja dari tenggorokan dan bibirnya bahkan tanpa perlu bersusah payah harus membongkar seluruh memori dari masa empat belas tahun silam. "Ciel Alferro."

"Ya Tuan Puteri, ini aku." Senyum itu masih sama mempesona seperti yang diingat Luna, masih menghias wajah tampan milik jelmaan dewa, dan-sepertinya-masih memiliki daya pikat lembut dengan intensitas kuat terhadap siapa saja yang melihat. Dan sekarang, satu-satunya, mahluk tidak beruntung itu adalah dirinya, keluh Luna dalam hati.

Gadis itu melayangkan senyum hambar untuk El, "Menyenangkan sekali melihatmu lagi El, tapi aku,"

"Jangan katakan apapun sebelum kau berdansa denganku," tegas El.

"Maaf El, aku tidak datang ke sini untuk itu."

El tersenyum tipis, "Aku bisa menebak sebab kemunculanmu, tapi aku rasa dansa satu putaran tidak akan membuatmu kehilangan banyak waktu."

"Tapi aku ... sudah mau pulang." Protes Luna terdengar begitu lemah, dan belum lagi selesai berbicara tahu-tahu saja tubuhnya sudah di balik oleh lelaki itu hingga mereka berdiri saling berhadapan.

Tubuh atletis El nyaris menghimpit Luna, menggetarkan sekeliling dan menghampiri Luna dalam bentuk gelenyar aneh yang membuat kulitnya meremang.

Gadis itu menahan nafas ketika merasakan tangan lebar El menyentuh bagian bawah tulang punggungnya di dekat pinggang, sementara tangan yang lain mengangkat dan menggenggam jari jemari Luna, menautkannya dengan tepat seakan mereka memang ditakdirkan untuk saling melekat satu sama lain.

Sentuhan El menebarkan kehangatan yang meresap cepat ke setiap inci bagian tubuh, dan di luar kemauan sendiri Luna merasa jauh lebih rileks sekarang.

Ketika El mulai mengayun tubuh mereka dengan perlahan, Luna mengangkat wajahnya untuk memandang pria itu, "Di sini? Kurasa ini sama sekali bukan tempat yang layak untuk berdansa!"

El menyeringai lebar, matanya yang hangat tak henti menatap pada gadis itu dengan intensitas yang meresahkan, "Aku ingin membawamu ke aula tapi itu hanya akan menyiksamu. Lagipula, tanpa penonton, tanpa saksi mata, ini tempat yang tepat untuk berdansa tanpa alas kaki."

Tawa Luna memiliki keanggunan serupa nada yang dihasilkan petikan harpa. Indah, dan jernih, Jenis suara yang memiliki kekuatan untuk memurnikan dosa, dan El selalu merasa damai jika mendengarnya.

"Ini jelas sangat tidak layak untuk di sebut berdansa."

"Memang tidak."

Luna mengernyit, "Lalu kenapa tetap kau lakukan?"

"Karena akan sangat kurang ajar, jika aku katakan semua ini hanya alasan untuk memelukmu."

Sukar untuk tidak tercengang dengan keterusterangan El, tapi Luna menahan diri untuk tidak menunjukkannya. Gadis itu menundukkan kepala hingga dari kejauhan terlihat seakan merebahkan diri ke dada El. Masih bergerak bersama dalam tarian sunyi, anehnya mereka seakan tengah menarik alam untuk ikut berdansa bersama.

Pelangi Tengah MalamWhere stories live. Discover now