Maraton - Oleh: Donna Widjajanto

Start from the beginning
                                    

Ibu selalu hadir sebagai penyokong hidupku. Menyediakan obat merah dan pelukan saat aku jatuh di masa kecil. Telinga untuk mendengar keluh-kesahku saat bertengkar dengan teman atau jatuh cinta pada cowok tetangga. Ibu menyediakan bolu kukus dan teh manis untuk menemani belajarku saat aku kuliah.

Lebih luas lagi, Ibu adalah ibu rumah tangga jempolan, yang berhasil mempertahankan rumah selalu rapi jali, dan dua asisten rumah tangganya bekerja sampai puluhan tahun. Ibu berhasil jadi pendamping sempurna bagi Bapak, mengelola gaji Bapak yang tidak seberapa sebagai pegawai menengah hingga cukup mengantarku jadi sarjana. Dan selalu dapat memanjakan Bapak dengan makanan-makanan kesukaannya.

Tapi, kemudian peristiwa itu terjadi, membuat Ibu ambruk. Dan aku jadi tertatih-tatih sendiri.

***

Aku tak pernah melupakan telepon yang mengubah hidupku itu.

"Ditaaa... Ditaaa... cepat pulang! Bapak jatuh!" jerit Ibu di telepon.

Aku sedang menghadiri konferensi pers rilis film terbaru Mira Lesmana dan Riri Riza. Di panggung, kedua sineas itu bersama para bintang film masih bicara mempresentasikan film mereka. Aku mendekap ponsel ke telinga kiriku, sementara tangan kanan kutangkupkan ke mulut supaya suaraku tidak mengganggu orang yang duduk di sebelahku.

"Jatuh gimana, Bu?" tanyaku setengah berbisik. "Kondisinya Bapak gimana?"

"Jatuh di kamar mandi! Pingsan ini!" jerit Ibu histeris. "Cepat pulang! Kamu di mana?"

"Di TIM, Bu. Aku dekat kok, ya aku cepat pulang," kataku. Tidak mungkin mendapat keterangan lebih banyak dari Ibu yang sedang histeris. Aku segera berdiri dan melipir ke luar ruangan. Di luar, aku menelepon Ami supaya cepat datang dan menggantikanku menghadiri konferensi pers itu karena berita tentang film Mira Lesmana tentu tidak dapat lolos tayang di portal berita kami.

Baru setelahnya, aku mencegat taksi untuk pulang dan membawa Bapak ke rumah sakit.

Saat kami tiba di UGD, Bapak sudah pingsan selama sejam lebih. Tanda-tanda vitalnya sangat lemah. Masa kritis pertolongan pertama bagi serangan stroke telah lewat lama.

***

Bapak dioperasi lalu masuk ICU. Stroke menyerang banyak fungsi di otaknya, tapi yang paling parah adalah fungsi napasnya. Bisa dibilang Bapak tidak bisa bernapas secara mandiri lagi. Setelah tiga hari menggunakan alat bantu napas, trakea Bapak dilubangi, sehingga Bapak tidak lagi bernapas melalui hidung, tapi langsung melalui saluran napas di dasar leher.

Hari demi hari berlalu. Kondisi Bapak kadang membaik, kadang memburuk. Ibu berjaga di rumah sakit. Sementara aku kalang kabut antara liputan, mengurus rumah, dan menengok ke rumah sakit.

Tapi yang paling membuatku sakit kepala adalah angka tagihan rumah sakit yang terus membengkak. Bodohnya kami, kami belum mendaftar BPJS. Tentu ini menjadi salah satu PR yang harus segera aku selesaikan. Tapi, sementara itu, tagihan yang ada tetap harus dilunasi.

Kantorku membantu, kerabat juga memberi sekadarnya. Tapi, angka itu terus membengkak.

"Kapan Bapak bisa keluar ICU, Dok? Terus terang, kami sudah tidak sanggup lagi membayar," kataku tanpa tedeng aling-aling. Mumpung Ibu tidak ikut menemui dokter kali ini. Kalau ada Ibu, aku pasti dilarang bicara begitu, pamali. Tidak boleh bilang tidak sanggup melakukan sesuatu. Nanti jadi tidak sanggup sungguhan. Self fulfilling prophecy sebenarnya.

Dokter menatapku. "Sudah berapa hari sih di ICU?" tanyanya.

"Dua puluh delapan, Dok," kataku.

"Begini, Bapak masih di ICU karena tidak bisa bernapas dengan mandiri," kata Dokter.

THE VOICE OF WOMEN (END)Where stories live. Discover now