SATU

3.8K 203 8
                                    

“Kamu gimana sih, Ran. Tahu kan kalau nikahannya Wanda dua bulan lagi?” Jemariku menggenggam ponsel dengan geram, seandainya memungkinkan, aku pasti sudah meremukkan alat komunikasi ini. Rano benar-benar membuatku kesal. Yah, kalau semisal Wanda dan Bang Artha belum bilang dari jauh-jauh hari dan meminta bantuan kami untuk persiapan pernikahan mereka, aku maklum kalau Rano tak bisa ambil cuti.

“Maaf, Ras. Aku cuma bisa cuti pas hari H aja. Kamu tahu sendiri kan, gimana kerjaanku?”

Aku mendengus bosan. Menjadi seorang traveling photographer di sebuah majalah nasional memang membuat Rano kehabisan waktu karena jam kerja yang tidak menentu, tapi bukan berarti dia bisa melanggar janji seenaknya kan?

“Kalau aku nggak lagi deadline, aku pasti pulang kok. Masalahnya, bulan ini deadline-ku gila-gilaan, Ras.” Dia kembali memberi alasan.

“Ya, terus? Aku harus ngomong apa sama Wanda, Ran? Dia mengharap banget bantuan dari kita. Aku nggak bisa handle semuanya sendiri.” Nada bicaraku melemah, mungkin karena lelah psikis karena harus menghadapi pacar workaholic macam si Rano ini.

Rano tak segera menjawab pertanyaanku, tercipta jeda yang cukup panjang dalam pembicaraan kami. Aku tahu dia tengah berpikir. Yah, mana tahu juga dia akan berubah pikiran setelah ini. Aku hanya bisa menunggu dan tidak menyelanya.

“Gini aja deh.”

Sumpah, perasaanku mendadak jadi tidak enak saat mendengar Rano berkata seperti itu. Kalimat itu tanda bahwa Rano sudah mengambil keputusan dan biasanya keputusannya tidak akan berakhir baik.

“Aku minta tolong sepupuku buat bantuin kamu aja, ya. Gimana? Anggap dia sebagai pengganti kehadiranku,” lanjutnya kemudian.

Aku terpana sesaat, lalu berdecak. “Terserah deh,” putusku kemudian. Bukan karena aku menerima keputusan Rano, tapi karena aku sudah malas mendebat dan tentu saja, daripada tidak ada bala bantuan sama sekali.

“Oke, kalau gitu.” Suara Rano berubah riang. “Secepatnya akan aku hubungi dia, ya.”

“Hmmm....”

“Udah beres, kan? Aku tutup dulu teleponnya, masih ada kerjaan nih.” Sebelum sempat kujawab, sambungan telepon sudah terputus.

Menyebalkan!

Bagaimana bisa, sih, dulu aku jatuh cinta pada lelaki seperti ini? Dulu, meski kami terpaksa berhubungan jarak jauh, Rano selalu menghujaniku dengan kejutan-kejutan yang membuat senyumku bisa terkembang tiga hari tiga malam. Mulai dari kiriman cokelat yang leleh karena terlalu lama di perjalanan, atau sebuah boneka beruang tedi yang besarnya hampir menyamaiku. Entah sejak kapan tepatnya, aku tidak menghitung, jarak yang memisahkan raga kami perlahan juga memisahkan hati.

Rano masih sering mengirim cokelat leleh, tapi itu tak lagi membuatku tersenyum. Sebaliknya, aku justru merasa dia begitu berlebihan. Untuk apa membayar mahal hanya agar bisa mengirim sebatang cokelat? Dia kan bisa memberikannya saat pulang dan bertemu denganku. Lagipula, aku bukan lagi anak baru gede yang mudah luluh dengan sebatang cokelat.
Itu masih masalah cokelat. Belum lagi masalah lain semisal aplikasi chatting. Dia memintaku mengaktifkan semua aplikasi chatting di ponsel. Mulai dari Whatsapp, Line, hingga Telegram. Untuk apa semua aplikasi itu dipasang kalau kami tidak pernah mengisi ruang percakapan dengan obrolan kami? Ya, dulu awal-awal dia memang rajin mengajakku mengobrol. Sekadar bertanya sedang apa, sudah makan atau belum, gimana keadaan Surabaya, dan semacamnya. Namun, makin ke sini, seiring dengan kesibukannya-dan juga kesibukanku-ruang percakapan dalam aplikasi di ponselku makin senyap.

Lagi-lagi, itu masih beberapa hal yang sepele soal komunikasi. Masih ada banyak hal-hal yang makin membentangkan jarak di antara kami. Termasuk di antaranya persoalan komitmen. Hubungan kami sudah tidak jelas arahnya di tahun keempat. Dua tahun terakhir aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa aku memang benar-benar mencintai Rano? Dan sebaliknya, apa Rano benar-benar mencintaiku? Karena tiap kali aku membahas soal ini dia selalu mengelak dan mengatakan aku yang terlalu berlebihan menilai semua hal. Aku lantas memutuskan untuk berhenti membahasnya karena ujung dari semua pembahasan itu hanyalah sakit di hatiku.

LET'S (NOT) FALLING IN LOVE (SUDAH TERBIT)Onde histórias criam vida. Descubra agora