Aroma 5 Aku!

Depuis le début
                                    

"Mau minum teh hangat?" katanya setelah salamanku terlepas.

"Tidak usah. Aku mau tidur dulu," kataku dan segera memasuki kamar.

Tidak bisa tertidur. Mataku terpejam tetapi tidak mampu terlelap. Matahari semakin memanas dan aku tidak sabar ingin melihat kebun kopi yang sekarang tidak lagi menjadi milik ayahku.

Menjadi seorang petani kopi memang jalan terakhir pilihannya agar tetap berada di dunia yang sama. Semua kebun habis dijualnya hanya untuk membiayaiku agar bisa menyelesaikan perkuliahan sebagai ahli pertanian. Maafkan aku karena aku belum bisa mengembalikan semua itu. Namun, kesejahteraan orang-orang sepertimu akan selalu menjadi tujuanku.

***

Rasanya berbeda ketika memasuki kebun yang tidak lagi milik keluargaku. Aku tak lagi bebas melakukan percobaan penanaman untuk menghasilkan kopi yang sempurna.

Dulu pengetahuanku mengenai penanaman masih sangat kurang tetapi aku bisa melakukan percobaan sendiri secara otodidak. Sekarang, pengetahuanku jauh lebih banyak, tetapi tidak lagi bisa melakukan penanaman sendiri.

Lalu sebenarnya untuk apa ini semua? Apa mungkin ini yang dikatakan sebagai pengorbanan? Harus ada satu hal yang dikorbankan? Menyakitkan memang.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan kemunculan Pak Ari, pemilik kebun kopi yang sekarang. Ia tersenyum melihatku. Dalam waktu satu setengah tahun ini aku memang belum menginjak kampung halaman, namun aku tetap berkelana ke kota-kota lain untuk menyelesaikan pekerjaan sekaligus mengunjungi kebun kopi di daerah-daerah itu.

"Sudah lama kau di rumah, Har?" Tanyanya kemudian.

"Datang tadi pagi, Pak," kataku, "Bagaimana perkebunannya Pak? Saya ingin mengambil kopi dari sini lagi, tapi ayah menyuruh saya datang langsung dan melihat keadaannya. Jadi, saya pulang sekaligus menengok keadaan ayah. Banyak pelanggan yang menanyakan singel origin Petung. Bulan ini kedai akan mengubah menu kopi dan saya rencananya akan mengambil kopi arabika petung lagi," kataku tanpa tedeng aling-aling.

Ia berjalan menyusuri pohon-pohon kopi lain, aku mengikutinya, "Dampak meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan hancurnya kebun sudah selesai. Namun, Har, satu tahun lalu tanah ini bermasalah. Akibat musim kemarau panjang. Meski ketinggiannya lebih dari 900 Mdpl, tetap saja masih kekurangan kadar air. Ditambah lagi serangan hama nematoda yang terus menerus. Pemetikan buah kopi hijau tentu saja hasilnya kurang memuaskan dibanding pemetikan buah merah, Har. Masa-masa paceklik ini membuat hasil kopi tidak pernah berkualitas baik lagi. Aku juga bingung bagaimana membuat kopi ini masih tetap sama seperti dulu. Aku dan ayahmu sudah melakukan beberapa kali percobaan. Memperbaiki bibitnya, mencoba penanaman klonil dengan setek dari pengambilan contoh dari beberapa varietes, mengganti jenis pupuk, hingga mengotak-atik proses roasting-nya, tapi tetap saja tidak pernah berhasil," ia berhenti sejenak, membalikkan badan untuk melihatku yang berdiri di belakangnya.

"Aku tidak bisa memberikan kepastian kopi ini dapat kembali dengan rasa yang sama. Itu sulit. Kualitas tanah di sini berubah, hama juga tidak kunjung bisa diatasi. Komoditas produksi kopi menjadi berkurang karena permintaan konsumen menurun," ia menatap kosong, "Meskipun penikmat kopi akan mengatakan kopi Petung di sini tetap enak, tetapi ketika disandingkan dengan singel origin dari tempat lainnya pasti akan jauh di bawah perbandingannya. Para peminum kopi mungkin tidak begitu bermasalah, tetapi tetap saja itu bukan tujuan kami, tujuan aku dan ayahmu," ia diam dan menatap tajam satu objek. Aku tahu ia sedikit pusing dengan kualitas kopi yang menurun drastis.

Bukan masalah profitnya menjadi menurun, tetapi tujuan mereka untuk menghasilkan singel origin terbaik tidak tercapai. Hal itu menjadi salah satu perkara untuk ayahku. Menjadi seorang petani kopi berbeda dengan pemiliknya. Seorang petani kopi harus benar-benar selektif untuk menghasilkan biji kopi yang berkualitas. Hal itu agar para pemilik kedai tertarik membeli biji kopinya. Untungnya, ayah dan Pak Ari masuk dalam kelompok petani kopi binaan. Jadi, mereka tahu apa yang perlu dilakukan.

Monolog KopiOù les histoires vivent. Découvrez maintenant