Everybody Changing

Bắt đầu từ đầu
                                    

Apa Narend mendramatisir keadaan ? Mada hanya pergi ke Belanda, 2 tahun. Dalam 2 tahun dia akan kembali lagi ke sini, Mada tidak pergi selamanya bukan ? dia masih bisa melihat kakaknya setelah kakaknya kembali nanti.

Tapi, masalahnya adalah. Mereka berpisah dengan tidak baik - baik, bukan layaknya seorang yang melepaskan kepindahan keluarganya, mendoakan yang terbaik saat pindah ke tempat baru, yang terjadi adalah, mereka bertengkar, saling diam dan kemudian Mada pergi tanpa menoleh lagi pada Narend.

Kata mereka Narend berubah, kata mereka Narend selalu tersenyum palsu, kata mereka, mereka merindukan Narendra yang dulu.

Iya, Narend berubah, iya Narend tersenyum palsu, iya Narend juga merindukan dirinya yang dulu. Tapi dia tidak bisa, Narend terlalu takut, saat dia kembali seperti dulu, saat Narend tidak bisa berdiri dengan kakinya sendiri, Narend takut mereka meninggalkannya seperti Mada. Mada pergi karena sikapnya bukan ? apa Narend salah mencoba mempertahankan orang - orang yang masih ada disekitarnya dengan cara berubah ?

***

"Ion,  makan lo dikit banget sih." Komentar Sendy saat melihat Orion hanya mengambil sedikit makanan di atas meja makan.

"Gue harus jaga berat badan gue." Jawab Orion sambil menyuap capcay ke mulutnya.

"Emang semua dancer  begitu ?" Dante mengalihkan pandangannya pada Narend yang memakan makanannya dengan tenang. "Perasaan lo dulu nggak gitu kan rend ? dia juga dancer  tapi nggak pernah pilih - pilih makanan kayak lo."

Ucapan Dante membuat mereka semua melirik tajam pada pemuda berlesung pipi itu. Bahkan Orion menatapnya dengan tatapan paling galak yang pernah Dante lihat. Menyadari ucapannya yang salah membuat Dante langsung panik.

"Rend, m-maaf, gue nggak bermaksud-"

Narend terkekeh kecil, mencomot satu tempe goreng ke atas piringnya. "Benar tuh kata Dante, gue dulu juga nggak suka pilih - pilih makanan. Lo lebay deh ion." Ledek Narend sembari melirik Orion sekilas.

Dan setelahnya, tidak ada pembicaraan lagi di meja makan, mereka semua makan dalam diam mencuri pandang ke arah Narend yang mengunyah dengan pelan. Mereka tahu, tawa Narend barusan adalah suara tertawa yang dibuat - buat dan itu membuat hati mereka sakit.

***

Sendy, berniat untuk tidur di kamar Narend malam ini, lagipula sudah lama sekali mereka tidak tidur dan berbagi ranjang berdua, padahal dulu sewaktu masih sekolah mereka berdua sering berbagi tempat tidur, Sendy merindukan saat - saat itu, saat dimana semuanya masih baik - baik saja, saat dimana mereka hanya tahu tertawa dan bermain.

Kening Sendy berkerut saat mendapati kamar Narend kosong, tempat tidurnya pun masih rapi, Sendy memeriksa kamar mandi, tidak ada. Sendy berderap ke bawah ke halaman belakang, dia tidak juga menemukan sosok Narend di sana.

"Narend! Narend!" Suara lantang Sendy yang memanggil Narend membuat teman - temannya keluar dari kamar.

"Ada apa sih sen ? ini udah tengah malam." Protes Julian.

"Narend nggak ada." Jawab Sendy dengan wajah pucat sekaligus panik.

"Nggak ada gimana ?" Fazka menuntut penjelasan lebih.

"Ya nggak ada ! dia nggak ada di rumah ini, dia pergi!" Jawaban Sendy sontak membuat mereka semua dilanda kepanikan.

"Lo yakin ?" Dante memastikan.

"Gue udah cari keseluruh rumah, tapi nggak ada. Gimana nih." Sendy panik bukan main, begitupun teman - temannya, keadaan psikis Narend saat ini sedang tidak baik dan mereka sangat takut terjadi sesuatu pada Narend.

"Ponselnya nggak aktif." Julian yang mencoba menghubungi Narend sedari tadi juga terlihat cemas.

Orion, yang hanya diam tiba - tiba menuju laci tempat kunci - kunci biasa disimpan, mengacak - acak isinya.

"Kayaknya gue tahu dia dimana." Ucapan Orion membuat semua mata menatap penuh harap padanya.

"..."

Dan di sinilah ke lima pemuda itu, di depan studio dance. Orion maju lebih dulu, memeriksa pintu kaca yang ternyata tidak di kunci.

"sial! Benarkan dugaan gue." Umpat Orion kemudian segera masuk ke dalam, diikuti teman - temannya yang lain.

Harusnya mereka menghembuskan nafas lega, melihat Narend ternyata berada di sana. Tapi mereka menatap Narend iba bercampur cemas karena melihat Narend berusaha menari lagi, mendengar Narend meringgis kesakitan bahkan hampir terjatuh, tapi Narend terus melakukannya.

"Narend! cukup!" Orion yang sudah tidak kuat melihat wajah Narend yang kesakitan menarik lengan teman yang lebih muda darinya itu.

"Lepasin! gue mau nari!" Narend berontak dari cengkraman Orion.

"Berhenti! Kaki lo masih sakit!" Orion terus berusaha menghentikan Narend.

Lagi, Narend berontak. "Gue bisa! gue pasti bisa nari lagi!" Narend berucap entah pada Orion atau pada dirinya sendiri. Dia mencoba lagi, tapi lagi - lagi nyeri di kakinya terasa membuat tubuhnya tidak seimbang kalau saja Orion tidak menangkapnya.

"Narendra cukup!" Kali ini Orion mengguncangkan bahu Narend, kalau saja tangannya tidak mencengkrang kedua bahu kurus itu, mungkin sekarang tangan itu sudah melayang menampar Narend untuk menyadarkannya.

Narend meluruh ke lantai, terisak. "Kaki sialan!" Narend memukul - mukul kakinya sendiri.

Orion langsung memeluk tubuh itu, dia sebelumnya tidak pernah seperti ini, bahkan pada Dante sekalipun. Tapi melihat betapa rapuhnya Narend membuat Orion benar - benar ingin memeluk anak itu. "Udah rend, jangan sakitin diri lo sendiri. Gue tahu perasaan lo."

Narend menjauhkan dirinya dari pelukan Orion. "Enggak! lo nggak tahu perasaan gue! lo masih bisa nari, lo masih bisa kejar impian lo. Gue ? gue nggak bisa ! gue cacat ! gue cacat ion !" Narend memukul dadanya sendiri, air mata sudah mengalir deras bersama dengan teriakannya.

Bukan hanya Narend yang hancur, tapi teman - temannya juga hancur melihat Narend seperti itu, seandainya Mada ada di sini , mungkin Narend bisa menghadapinya dengan lebih baik.

"Gue ngerti!" Orion tidak kalah lantang berteriak membuat teman - temannya terkejut, Orion yang mereka kenal tidak pernah memperlihatkan sisi dirinya yang seperti ini. "Gue tahu gimana perasaan lo." Suara Orion melunak. "Kita punya mimpi yang sama, kita berbagi mimpi yang sama di sini. Gue tahu lo hancur, lihat lo kayak gini juga buat gue hancur, buat kita semua hancur. Tapi siapa yang bilang lo cacat ? lo nggak cacat! lo masih bisa jalan, banyak orang di luar sana yang nggak lebih beruntung dari lo, lo harusnya bersyukur!"

Fazka mendekat, menyentuh kedua pipi Narend yang sudah basah oleh air mata. "Kamu nggak bisa selamanya kayak gini rend, kamu harus bangkit. Kamu laki - laki yang kuat, abang tahu itu. Kalau kamu nggak bisa wujudin mimpi kamu yang ini, kamu harus mulai mencari mimpi yang baru, kita ada di sini buat bantu kamu."

Teman  - temannya mendekat, ikut duduk di lantai. Narend menatap teman - temannya satu persatu.

"Kita di sini buat lo rend. Jangan anggap kita orang lain lagi." Julian mengusap lengan Narend.

Narend tahu mereka semua ada di sana untuk dirinya, selalu ada di sana. Narend hanya sedang tidak bisa melihat mereka dengan jelas, tapi sekarang, Narend bisa melihat mereka dengan jelas.

Wajah para sahabatnya.


Our Path : Sibling  ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ