My Dearest Ben

86.4K 3K 47
                                    

Seorang gadis cantik tengah menyesap late di sudut Chocoffee sore ini. Ekspresinya terlihat tidak senang, terlebih saat menatap ponsel di tangan. Dia datang ke sini sendirian bukan tanpa maksud, melainkan untuk bertemu seseorang. Sayang, orang yang dia tunggu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Puluhan kali selama tiga jam, gadis itu mencoba untuk menelepon, tapi panggilan selalu berada di luar jangkauan. Dia sudah benar-benar lelah dan mulai kesal sekarang.

Baru saja dia menatap jalanan, sebuah Range Rover putih tiba-tiba saja berhenti di depan kafe. Plat mobil yang khusus dia pesan sesuai namanya terlihat jelas dari tempat si gadis. B3N alias Ben, sahabatnya. Tidak beberapa lama setelah mobil terparkir mulus, keluarlah seorang pria tampan dari dalam. Darah Jerman yang dia miliki membuat pesona pria itu bertambah. Perawakannya pun tinggi. Bentuk wajah yang persegi serta mata abu-abu menambah ketampanan pria itu. Ben tidak perlu berusaha keras terlihat indah, adegan menutup pintu mobil saja sudah menarik berapa pasang mata di sekitar sana.

Ben melepaskan kacamata hitamnya. Tatapan mereka langsung bersirobok di udara. Dari sekian wanita di tempat ini, hanya gadis itu lah yang tidak terpengaruh. Mereka sudah lima tahun kenal dan dekat, membuat pesona Ben tidak tembus pada gadis itu.

Menyadari Calista sudah semakin kesal, Ben berlari memasuki kafe. Ada seulas senyum yang terpasang saat pria itu akhirnya berdiri di depannya. "I'm sorry. I'm late."

Calista memutar bola matanya kesal. Dia sudah berkali-kali hampir terlupakan. "Mau alasan apa lagi, Ben?"

"Angel." Untuk sesaat Calista mendesah panjang mendengar panggilan Ben. Sejujurnya dia tidak menyukai panggilan yang Ben berikan, terdengar berlebihan. "Ada operasi mendadak."

"Basi!"

"Aku tidak berbohong, Angel." Ben semakin terlihat frustasi seraya menduduki kursi. "Kau kan tahu jadwal operasiku bisa kapan saja. Tadi aku tidak sempat kembali ke kantor karena ada operasi beruntun. Maafkan aku."

Sayangnya, Calista tidak menjawab. Tiga jam membuat wanita menunggu tanpa kabar itu jahat sekali, karena selama tiga jam kita bisa melakukan banyak hal.

Bukan bermaksud jahat, tapi Calista sepertinya bosan memahami masalah komunikasi. Gadis itu memiliki dua sahabat seorang dokter spesialis, Ben sang dokter kandungan dan Caraka alias Raka si dokter saraf. Sebenarnya dia sudah memahami kesibukan dan kegilaan pekerjaan mereka. Dia hanya ingin sahabatnya memberi kabar, jika ada operasi mendadak atau lainnya. Calista tidak ingin menunggu, melelahkan, apalagi tanpa kepastiaan.

"Aku sampai bosan memintamu untuk mengirimkan pesan apabila ada operasi mendadak atau semacamnya, susah kah, Ben? Bukan aku tidak menghargai atau menghormati pekerjaanmu, tapi aku kesal karena kau membiarkanku menunggu di sini sendirian selama tiga jam!" omel Calista.

Ben mendesah panjang, terlihat semakin frustasi. Calista hanya diam, menunggu apa yang akan Ben perbuat setelahnya. Sahabatnya itu tidak akan tenang meninggalkan mereka dalam keadaan bertengkar.

Tiba-tiba saja Ben merogoh saku belakang celananya. Dia mengeluarkan sebuah dompet di sana, lalu mengambil sebuah kartu berwarna hitam, "Ayo kita belanja, Angel."

Bukannya mengiyakan atau menolak, Calista malah terkekeh mendengar ajakan Ben. Kedua sahabatnya itu tahu bagaimana membuat Calista bahagia, menemani gadis itu berbelanja hingga kedua tangan mereka penuh paperbag. Saking sayangnya, mereka lebih sering membelanjakan gadis itu sekalipun tahu bahwa dia bisa membeli barang-barang itu sendiri.

Namun malam ini, dia tidak ingin berbelanja. Ada hal lain yang dia inginkan. Dicoleknya lengan Ben sembari menggeleng pelan, "Aku tidak ingin berbelanja, tapi kalau kau mau mentraktriku makan di GLM malam ini, aku akan memaafkanmu."

Lovely ChefWhere stories live. Discover now