Air - Air Cantik (2)

27.2K 611 3
                                    

Dengan menggenggam selembar uang dua puluh ribuan, aku berjalan santai melewati lokasi yang sangat strategis itu. Aku sudah terbiasa berjalan dari rumah menuju masjid kebanggaan dan sekaligus lambang dari kota Medan, masjid Al-Mashun.

Masjid yang juga di kenal dengan nama Masjid Raya Medan, salah satu peninggalan Sultan Deli setelah istana Maimun. Lokasinya sekitar dua ratus meter dari Istana Maimun. Masjid itu dibangun pada tahun 1906 oleh Sultan Maimun Al-Rasyd. Kubahnya mirip dengan kubah Masjid Raya Aceh. Masjid terindah di Sumatera Utara itu hingga kini masih dipergunakan oleh masyarakat muslim untuk Sholat setiap hari.
Berkat arsitekturnya yang khas dan tentu saja nilai sejarahnya, masjid tersebut kerap dikunjungi wisatawan mancanegara. Seperti para turis dari dalam bus yang saat itu parkir di samping kananku. Mayoritas mereka terlihat putih dengan warna rambut yang bukan hitam. "Halooo!" Aku tersenyum membalas teguran salah seorang dari mereka. Senyuman itu kudedisikan demi reputasi masyarakat Indonesia yang terkenal ramah

Medan, kota kelahiranku, berkembang dari sebuah kampung bernama Kampung Medan Putri yang didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590-an. Karena letaknya di Tanah Deli, Kampung medan juga sering dikenal sebagai 'Medan-Deli'. Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat pertemuan Sungai Deli dengan Sungai Babura.

"Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang karo. " Sepenggal sejarah yang selalu diingatkan mamak kepada kami, anak-anaknya. Selain karena mamak berasal dari suku Karo asli, mamak juga ingin melihat kami bisa mendapatkan jodoh orang karo. Hal itu disebabkan mamak telah terlanjur jatuh hati dan menikah dengan ayah yang bukan berasal dari suku Karo sehingga membuat mamak merasa sedikit bersalah karena tidak mengikuti nasihat almarhum bolang (kakek)
Kepadanya. Akhirul kalam, kami menjadi bulan-bulanan penerus amanah tersebut.

Letak Masjid gagah itu berjejer rapi dengan perpustakaan terbesar di Sumatera Utara, perpustakaan Daerah Sumatera. Dahulu ayah sering membawaku ke sana di waktu kosong. Ayah tidak memaksaku membaca, tetapi melihat ayah sibuk berjalan dari satu rak buku ke rak buku lainnya untuk mencari buku,aku pun menirunya. Entah buku apa yang kucari di ruangan dewasa, padahal aki masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Aku juga tak kalah sibuknya dibandingkan ayah. Suatu saat, petugas perpustakaan menegurku karena menumpukkan buku di atas meja.

"Kalau tidak dibaca jangan diambil, Dik! Bukanya mudah menyusunnya kembali? " tandasnya dengan raut wajah geram.

"Ayaaaah!" aku menjerit memanggil Superman - ku.

Dengan tajam, aku menatap penuh pengawas tersebut sembari membayangkan betapa akan menyesalnya ia marah begitu. Namun ternyata, tatapan itu tidak ada gunanya. Akulah yang di nasehati ayah, bahkan ayah pula yang meminta maaf pada petugas itu.

Aku pun keluar dari ruangan perpustakaan khusus dewasa itu dengan tatapan geram para pengunjung yang sedang membaca. Bercocok tanam yang sempurna, aku hafal sekali dengan buku yang akhirnya ayah pinjam pada saat itu. Aku bahkan turut membacanya di rumah.

❤❤❤

CAHAYA CINTA PESANTREN Where stories live. Discover now