LARANGAN 1: JANGAN MEMETIK BUNGA EDELWEIS SAAT NAIK GUNUNG

Mulai dari awal
                                    

"Apa kau mau menemaniku?"

"Tentu saja!" Dennis bersikap sok pahlawan. "Akan kutemani kau! Aku yakin teman-temanmu tidak jauh."

Mereka berduapun berjalan beriringan.

"Omong-omong siapa namamu? Aku Dennis."

"Aku Caca. Kau sudah sampai padang edelweis tadi?"

"Iya. Kau tadi juga habis dari sana?"

"Di sanalah aku kehilangan teman-temanku. Aku sibuk memetik bunga edelweis dan tiba-tiba saja mereka sudah pergi."

"Ada takhyul bodoh di sini yang melarang kita memetik bunga itu," kata Dennis sambil tertawa, "Tapi kurasa tak ada salahnya kan jika hanya satu atau dua kuntum?"

"Apakah kita bisa beristirahat sebentar di sini?" tanya gadis itu, "Aku lelah. Entah kenapa tasku menjadi semakin berat setelah kembali dari padang edelweis tadi."

"Oh, tentu saja!" Dennis menurunkan bawaannya dan duduk, begitu pula gadis itu.

Kabut mulai menggelayut turun lagi. Entah kenapa Dennis menjadi merasa mengantuk.

Ketika terbangun, ia terkejut karena tak lagi melihat gadis itu.

"Ca? Caca?" panggilnya. Namun hanya tas ranselnya yang teronggok di hadapannya. Gadis itu sudah tak terlihat lagi.

Mungkin panggilan alam, pikirnya. Dennis kemudian memutuskan menunggu. Namun hampir selama dua jam, tak ada tanda-tanda gadis itu akan kembali.

"Astaga, apa terjadi sesuatu dengannya?" Dennis mulai merasa cemas. Skenario terburuk adalah gadis itu terperosok dan tak sadarkan diri, apalagi dengan kabut setebal ini. Dennis ingin mencarinya, namun instingnya melarangnya. Terlalu berbahaya. Bisa-bisa ia sendiri juga terperosok karena tak begitu hapal medan di sekitarnya.

Atau ada kemungkinan gadis itu berjalan sendirian ke pos berikutnya karena ia tak kuat mengangkat tasnya lagi. Entahlah, mungkin saja. Namun jika benar begitu, mengapa ia tidak membangunkannya?

Dennis memutuskan mengejar saja teman-temannya di pos berikutnya, kemudian mencari gadis itu bersama-sama. Ia kemudian membawa tas ransel gadis itu dan meneruskan perjalanan, sembari berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada gadis itu.

"Ugh, berat juga," pikirnya dalam perjalanan.

"Woi, Den! Ngapain kamu di situ?" terdengar seruan Yuga ketika Dennis melihat pos berikutnya dari balik kabut. Dennis terkejut karena jaraknya ternyata sedekat ini. Pasti ia tak menyadarinya karena kabut yang terus bergelayut ini.

"Woi, jahat sekali kalian ninggalin gitu saja!" teriak Dennis sambil melambaikan tangan.

"Ninggalin apaan? Kan kita bersama-sama terus sejak tadi? Kamu lupa kita makan bareng di pos ini?"

"Kau ngomong apa sih? Aku tadi kalian tinggal dan gara-gara kabut tadi ..."

"Kabut apaan sih? Kamu ngelindur ya? Orang cuaca cerah begini."

Dennis menoleh dan tak habis mengerti. Yuga benar, tak ada sepercikpun kabut di sini. Lagipula cuaca panas. Jangan-jangan ...

Dennis lalu menceritakan pengalamannya. Walaupun sulit mencerna cerita Dennis, namun mereka semua sepakat untuk tidak mencari gadis itu dan cukup memberitahukan perkara ini kepada penjaga hutan.

"Perasaan gue nggak enak. Setau gue nggak ada pendaki lain selain kita, apalagi cewek."

"Lihat!" salah seorang teman mereka menunjuk, "Ada tag di tas ini!"

Mereka semua melongok ke tas itu dan benar, di resletingnya tergantung sebuah tag berisi nama dan alamat.

"Caca. Benar ini gadis yang tadi!"

"Alamatnya di Jagakarsa, searah dengan jalur kita pulang. Bagaimana jika kita sekalian mampir di rumahnya dan mengembalikan tas ini?"

Semua setuju dengan ide itu. Namun saat itu mereka tak sadar akan menemukan hal-hal yang lebih mengejutkan.

Para pemuda itu sampai di depan rumah Caca dan seorang ibu-ibu menyambut mereka serta mempersilakan mereka masuk. Di ruang tamu, Dennis bergidik melihat foto gadis itu terpajang di ruang tamu, dengan bingkai berpita hitam dan bunga-bunga disesajenkan di depannya.

Ibu itu langsung menangis begitu melihat tas yang mereka bawakan.

"Di ... dimana kalian menemukannya?" seru ibu sambil terisak. "Sejak Caca menghilang saat mendaki sepuluh tahun lalu, saya tak pernah melihat tas ini lagi ..."

Mereka hanya terdiam, terutama Dennis.

Ia tak tahu harus berkata apa.

Ditambah lagi mereka langsung tercekam begitu membuka tas itu.

Ada kerangka seorang gadis di dalamnya.

TO BE CONTINUED

PAMALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang