I/V

463 43 13
                                    

Note : FF ini ditulis dari hasil imajinasi nugget sendiri. Jika ada kesamaan cerita itu hanya ketidaksengajaan// Maafkan typo dan eyd yang belum benar.

○○○

"Dia pernah begitu mencinta
Dalam buainya yang ternyata mendusta
Yang tersuci baginya adalah cinta
Namun itu hanya omong kosong yang nyata

Aku bahagia dalam cinta palsunya
Sepenuh hatiku aku berserah diri untuknya
Menyayangi untuk setiap senyum kejinya
Yang perlahan menusukku dengan manisnya

Dengannya,
Mencintainya,
Dan untuk merasa dirinya yang terbaik adalah kesalahan terindahku
Yang terukir jelas.., dalam hidupku."

Hening pun tercipta seusai Junghan mengakhiri ucapannya. Sementara itu, senyum seseorang yang lain mengembang.

"Sempurna," lirih Jisoo, membuat Junghan beralih menatapnya.

"Sudah ku katakan berapa kali? Kau bukan seorang penikmat sajak, Jisoo. Kau tak cukup paham untuk menilai tulisanku," protes Junghan tenang.

Jisoo tersenyum, dan kini lebih mengembang lagi. "Bukan 'kah aku yang selalu ada untuk menikmati sajak-sajakmu?"

Junghan merunduk, seraya menyembunyikan perasaan malunya.

"Junghan?"

"Hm?"

"Untuk menjadi sempurna dimata seseorang, teruslah berada dengan seseorang yang tak mengerti tentang arti kesempurnaan, dengan begitu.., kau akan jadi sebuah arti sempurna untuknya."

Junghan membatu, menatap mata sang lawan bicara lekat-lekat. Ia bahkan tak berkedip untuk beberapa saat.

"Rasanya menyebalkan sekali saat tahu seorang pendeta sepertimu lebih puitis dari pada aku yang jelas-jelas lulusan sastra," ujar Junghan, akhirnya, diikuti kerucutan bibir yang terlihat menggemaskan.

Jisoo terkekeh mendengarnya. "Sudah ku katakan aku bukan seorang pendeta!"

"Terserah kau saja, pendeta," goda Junghan yang kemudian tersenyum dengan genitnya.

Melihat itu, Jisoo terpana dibuatnya. Ia tetap pada senyumnya yang terlihat begitu mempesona. Mempesona hati seseorang yang kini sedang bertingkah lucu didepannya.

○○○

Suara bel pintu rumah berbunyi dengan konyolnya. Seseorang kerap menekannya berkali-kali, seolah ia sedang mempermainkannya. Mendengar itu, Junghan pun dibuat terburu-buru untuk membukakannya. Bukan merasa kesal dan hendak memaki, tapi karena Junghan tahu siapa yang datang, atau tepatnya pulang.

Sang suami, Choi Seungcheol.

"Lama sekali," ujar pria yang Junghan sudah nikahi 5 tahun kebelakang tersebut. Kemudian dengan cepat ia melenggang masuk tanpa peduli dengan bahu Junghan yang tersenggol cukup kasar.

Junghan tak bereaksi, kecuali ingatan lamanya yang mulai terputar kembali.

"Maafkan aku. Ini terjadi begitu saja. Aku tidak tahu."

"Ssstt.., sudah, tak apa. Bukan 'kah kau akan menikah dengannya?"

Junghan bergeming dengan kepala yang tunak menunduk. Namun beberapa saat kemudian, ia pun kembali menampakkan wajahnya. Junghan berusaha sekuat tenaga untuk melawan perasaan bersalah dan membalas tatapan. Hatinya berkecamuk, di satu sisi ia yakin akan apa yang ia lakukan bukanlah suatu kesalahan. Namun pada saat yang bersamaan, nalarnya menolak.

"Junghan, bersikap biasa dan menganggap ini adalah takdir.., kurasa itu lebih baik."

Junghan membenarkan, tapi sekali lagi ini terasa berat. Karena menikah dengan seseorang yang baru disaat cinta lama kembali -itu tidaklah mudah.

"Menikahlah. Menikahlah tanpa beban dan hidup jauh dari penyesalan. Sempurnakan pernikahanmu.., seperti pernikahan yang kita idamkan dulu."

"HUN? Hun? Sudah berapa kali aku bilang untuk jangan menulis diranjang!"

"..."

"Yoon Jeonghan?!"

"Aah, ya? Sebentar, hun!"

Dia tak mencintaiku seutuhnya. Dia membenci separuhku.






°°°
Sederhananya, aku butuh support untuk melanjutkan fiveshots(?) ini. Thanks.

locked.Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ