Aku mencibir. Harso contoh kasus narsisme kronis. Dia tahu betul dirinya tampan dan sangat menikmati tatapan kagum setiap orang yang memandangnya.

"Kurasa kamu harus menikah dengan cermin."

"Cermin?" Laki-laki itu mengerutkan kening. "Artinya?"

"Karena pantulan yang ditampilkannya saat kamu memandangnya takkan pernah mengecewakanmu."

Tawa Harso makin lantang setelah menangkap maksudku. "Aku sungguh ingin tahu seperti apa rupa lelaki yang bisa membuatmu jatuh cinta."

Bram? Pintar, tinggi, hitam manis, selera humor yang bagus, meski caranya meninggalkanku saat pernikahan kami tinggal hitungan hari sama sekali tak bisa dianggap lucu. "Akan kuperkenalkan padamu kalau sudah menemukannya."

"Dokter Harso, ada pasien di UGD. Dokter Denny meminta Anda segera ke sana." Seorang perawat masuk tergopoh-gopoh ke ruang jaga dokter, tempatku dan Harso ngobrol.

"Ya ampun, padahal aku baru keluar ruang operasi lima belas menit yang lalu. Kurasa aku mengambil spesialisasi yang salah." Laki-laki itu mengeluh sambil menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal.

Aku mengangkat kaleng soda yang kupegang ke arahnya. "Dengan tampang seperti itu, dan embel-embel dokter bedah, kamu adalah menantu idaman. Kurasa tidak banyak wanita yang bisa menolakmu."

"Memang tidak, tapi kalau bisa memilihmu, aku tidak butuh banyak wanita." Matanya mengedip genit. Kemampuannya berganti ekspresi dalam waktu singkat sungguh mengagumkan.

Aku tertawa. Harso adalah pria dengan kepercayaan diri besar, dan wajah yang tentu saja setebal kulit badak. Penolakan berarti tantangan baginya. "Tidak ada salahnya terus berharap," ujarku. "Bila undang-undang yang mengharuskanku menikah dengan pria tampan penggoda sepertimu diterbitkan, akan kupastikan namamu ada di urutan teratas."

"Kedengarannya hampir mustahil." Ia beranjak dan melambai, senyuman terpampang lebar di wajahnya. "Aku harus pergi menyelamatkan satu nyawa. Nanti kita ngobrol lagi."

Aku menyusuri koridor panjang menuju gerbang Rumah Sakit Umum Daerah Pasarwajo di Sulawesi Tenggara, tempat aku dan beberapa teman residen yang mengambil spesialisasi praktik selama beberapa bulan. Aku memilih wilayah ini karena familier dengan lokasinya. Dulu aku PTT di wilayah ini, meski tempatnya tidak persis sama. Waktu itu aku menyusul Bram yang lebih dulu bertugas di sini.

Benar, rasa sayangku padanya membuatku rela memilih tempat bertugas yang membutuhkan krim dengan SPF di atas lima puluh untuk beraktivitas di luar ruangan. Tempat dengan pemandangan menakjubkan namun akan segera mengubah warna kulit tanpa perlu proses tanning yang mahal.

Teleponku berdering saat aku belum lagi meninggalkan area rumah sakit. Radit. Teman residenku yang lain.

"Ya?" aku menjawab sambil meneruskan langkah.

"Mia, kamu harus menolongku."

"Apa yang harus kutolong?" Semoga bukan jenis pertolongan yang membutuhkan otot, karena dengan perut lapar seperti sekarang ini tidak banyak yang bisa diharapkan dari tenagaku yang tersisa.

"Kamu benar-benar mau?" suara Radit terdengar lega.

"Tergantung isi permintaanmu," ucapku.

"Aku sudah cerita tentang temanku yang akan berlibur ke sini, kan? Dia datang nanti sore. Aku tidak bisa ke bandara karena dua pasien darurat sudah antre di ruang operasi. Harso juga punya pasien dan tidak bisa dimintai tolong. Harapanku tinggal kamu."

Aku menghela napas. Radit memang sudah ribut tentang kedatangan temannya ini sejak dua minggu lalu. Mengulang-ulangnya seperti radio rusak, seolah temannya itu selebriti. "Apakah aku bisa bilang tidak?"

Dongeng Tentang Waktu (TERBIT) Where stories live. Discover now