Satu

16.5K 640 26
                                    

AKU pernah nonton beberapa film Hollywood dan drama Korea di mana pengantin pria tidak muncul saat mempelainya telah menanti di depan altar, diawasi ratusan pasang mata para undangan. Ketika itu, meski ikut merasa sedih untuk mempelai wanita yang maskaranya berlepotan saat menangisi kesialan nasibnya, aku tak pernah berpikir hal seperti itu bisa terjadi di dunia nyata. Apalagi harus terjadi padaku. Maksudku, terlalu mengerikan untuk dialami.

Tapi kejadian nyaris imaginatif itu benar-benar menimpaku. Memang tidak seekstrem itu sih. Aku tidak ditinggalkan di depan penghulu, dan tidak perlu mendapat tatapan kasihan para kerabat yang datang menghadiri ijab kabulku. Tapi kejadiannya hampir sama. Calon pengantin pria---kekasihku selama hampir empat tahun---membatalkan niatnya menjadikanku satu-satunya wanita dalam hidupnya, saat aku asyik mengetik daftar nama yang akan ditempelkan di depan undangan pernikahan yang telah selesai dicetak wedding organizer-ku.

Kejadiannya tiga tahun lalu. Sudah cukup lama. Tapi aku masih saja teringat setiap kali menerima undangan pernikahan. Kurasa itu bukan peristiwa yang bisa kulupakan sekejap mata. Butuh waktu cukup lama bagiku untuk memulihkan diri. Terutama mengumpulkan harga dan kepercayaan diri yang sempat terkoyak menjadi serpihan kecil.

Banyak waktu kuhabiskan untuk menjawab berjuta mengapa dan apa yang bergantian berkelebat di benak. Mengapa aku yang harus mengalami peristiwa itu? Mengapa aku harus bertemu Bram dan jatuh cinta padanya? Apa yang salah denganku hingga Bram meninggalkanku saat pergelaran akbar dalam hidupku tinggal dua minggu lagi? Apakah aku benar-benar kekasih yang buruk? Mengapa perpisahan itu terjadi tiba-tiba, tanpa didahului konflik sehingga keterkejutan yang kuterima teramat dahsyat? Aku tidak, bahkan sama sekali tak dapat, menemukan pembenaran atas tindakan Bram itu.

Butuh berbulan-bulan hingga aku dapat berdamai dengan diri sendiri dan sampai pada kesimpulan yang mengembalikan seluruh harga diri dan kepercayaan diriku ke tempatnya semula. Menjadi seorang Mia, seperti seharusnya. Tidak ada yang salah denganku. Aku hanya menjalani kehidupan sebagaimana wanita lainnya saat jatuh cinta. Merencanakan pernikahan dengan pria yang kukira juga mencintaiku bukanlah kesalahan. Dan ketika dia memutuskan meninggalkanku, itu juga bukan kesalahanku. Aku tidak bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat Bram seorang diri tanpa melibatkan aku di dalamnya.

Satu hal yang kusyukuri kemudian adalah Bram memutuskan mengakhiri hubungan kami sebelum lonceng pernikahan berdentang. Berpisah sebelum dan setelah menikah perbedaannya sangat besar. Tapi aku juga tidak memungkiri kenyataan bahwa aku tidak ingin memikirkan soal pernikahan lagi. Tidak untuk waktu cukup lama. Aku telah berdamai dengan berbagai hal dalam hidupku, tapi tidak berarti peristiwa itu tidak meninggalkan jejak trauma yang cukup dalam.

"Undangan lagi?"

Suara itu membuatku mendongak enggan. Sebenarnya aku tidak perlu melihat wajahnya untuk mengenali si pemilik suara. Hanya satu orang yang memiliki suara cempreng mengiritasi telinga di antara ratusan pegawai rumah sakit ini.

"He-eh," jawabku malas sambil meletakkan undangan pernikahan yang kupegang. "Yang keenam bulan ini. Apakah para perawat rumah sakit ini sedang mengadakan perlombaaan menjadi Mempelai Bulan Ini?"

Pria itu, Harso, terkekeh. "Kamu tahu, Mia," katanya, "menjadi perawan tua bukan pilihan setiap wanita. Aku hanya mengenal sedikit orang yang memilih jalan hidup seperti itu."

Aku tahu maksudnya dengan jelas. "Kalau kalimat itu kamu tujukan untukku, akan kuanggap pujian."

"Kamu yakin dirimu bukan pencinta sesama jenis?"

Aku menatap Harso bosan. "Kenapa? Apa aku harus menjadi lesbian hanya karena tidak segera menangkap umpan yang kamu lempar?"

Tawa Harso makin keras, tangannya menyugar. Gayanya sok cool. "Tidak tertarik padaku saja sudah merupakan kelainan, Mia. Kurasa kamu satu-satunya wanita yang tidak menghargai wajah yang Tuhan anugerahkan padaku. Apakah guru agamamu tidak pernah mengajari, bahwa mengingkari anugerah Tuhan adalah dosa besar?"

Dongeng Tentang Waktu (TERBIT) Where stories live. Discover now