"Kalian mau kemana?" Dahi Shilla berkerut tak suka, setelah mereka berduaan di San Francisco, sekarang mereka mau kemana lagi?

"Bukan kita, tapi kamu dan teman kamu." Suri tersenyum, melanjutkan makannya—sial, gadis itu benar-benar anggun bahkan dengan caranya makan dan mengunyah. Shilla tak ingin memperhatikan apalagi memuji. Tapi itu semua fakta dan Shilla tak bisa tidak memperhatikan cara makan yang anggun itu. Dan tentang tiket itu... tunggu.

"Aku sama Glam?" Shilla menatap Cakka terkejut dan lelaki itu mengangguk seolah tak melakukan apapun, hanya menjawab.

Shilla kesal, ingin marah. Apa Cakka begitu menginginkan berduaan bersama si kari sehingga mengirimnya dan Glam pulang ke Manhattan dengan segera? Apa berada di dekat Shilla sangat membuatnya tak nyaman? Shilla ingin protes dan sudah siap dengan luapan protes itu di ujung lidah, tapi kemudian ia sadar.

Ia diuntungkan. Tak perlu menggunakan uangnya untuk tiket dan repot-repot mengurus tiket. Lagipula baguslah ia dapat tiket pagi—yang sangat sulit didapatkan—supaya ia masih punya banyak waktu untuk belajar, besok ada kuis dengan dosen di kampus. Tentang Cakka dan perempuan itu... terserah.

"Oke." Shilla mengendikkan bahu, acuh tak acuh. Hal itu membuat Cakka mengangkat alisnya sedikit, ia bahkan sudah mempersiapkan perdebatan jika gadis itu membantahnya. Tapi baguslah Shilla menurut... bagus sekali.

Ponsel Cakka bergetar dalam saku celananya, ia mengambil ponsel itu dan menatap layarnya sejenak. Ketika Cakka mendongak, yang pertama ditatapnya adalah manik mata cokelat madu milik Suri. Baru ketika perempuan itu mengangguk kecil, Cakka bangkit berdiri dengan ponsel itu. "Gue mau angkat telepon, tunggu sebentar."

Ucapan itu untuk Shilla dan Suri mengangguk. Ia melihat kejadian beberapa detik tadi dan heran, apa Cakka butuh izin dari kari itu hanya untuk menerima telepon dari seseorang? Bahkan ketika mereka berdua tepat berada di depan Shilla!

"Itu dari kliennya." Suri tersenyum melihat wajah keheranan Shilla atas adegan beberapa detik tadi. "Aku yang minta klien itu hubungi Cakka dan aku lupa beritau Cakka."

"Klien apa? Cakka itu mahasiswa kedokteran, bukan pengusaha."

"Dia pewaris rumah sakit Ayahnya, kamu seharusnya tau itu."

"Itu belum rumah sakit Cakka."

"Lalu siapa yang bisa urus semuanya kalau keadaan Ayah Cakka seperti ini? Tentunya cuma Cakka."

"Tapi itu tetap bukan tanggung jawab Cakka."

"Itu tanggung jawab Cakka secara otomatis."

"Apa kalian—kamu dan staff rumah sakit—yang nanggung kalau Cakka nggak lulus di ujian akhir kedokterannya nanti?"

"Kami dan Ayah mertua kamu nggak punya pilihan. Siapa lagi yang menjalankan kalau bukan Cakka?"

"Ayah pasti punya tangan kanan, seseorang yang paling dia percaya di rumah sakit itu—siapapun selain Cakka yang jelas."

"Kami—aku harap ada, tapi hanya Cakka yang bisa. Dia laki-laki cerdas, paling cerdas yang pernah aku temui."

"Terima kasih, untuk memuji suamiku." Shilla menekankan kata di akhir kalimatnya, memperjelas status Cakka sekarang setelah Suri memuji Cakka terang-terangan di depannya. Shilla tahu tak ada yang salah dengan hal itu, tapi tetap saja menyebalkan.

"Cakka hanya melakukan tugasnya sebagai pewaris rumah sakit. Aku harap kamu ngerti."

Aku harap kamu ngerti.

Sial, Suri mengatakan hal itu seperti Shilla tak pernah berusaha mengerti Cakka saja. Seolah Shilla istri buruk yang kerjaannya menganggu Cakka melulu dan mengekang pemuda itu. Ia mungkin tak pernah menemani Cakka dalam rapat-rapat seperti Suri, tapi Shilla selalu menemani Cakka di hari-harinya!

AFTER SEASON (Book3)Onde histórias criam vida. Descubra agora