1

4.2K 216 32
                                    

Veranda berkeliling untuk mengecek keadaan butik sepatunya sebelum membalik label bertuliskan 'Close' di pintu kaca menjadi 'Open'. Seraya berkeliling, dia juga merapikan sepatu-sepatu yang miring, jatuh dari penahannya, dan berbagai hal lain yang bisa memberi kesan berantakan.

Di bagian depan toko itu, beberapa pegawainya sedang menyusun sepatu-sepatu di meja display dengan label 'sale 30%' di tengahnya. Kelompok lain menyusun sepatu di meja lainnya, dengan label sale beraneka ragam. Berkisar antara 10% sampai 50%. Sebelum peluncuran produk sepatu baru periode berikutnya, dia membutuhkan tempat kosong di tokonya. Cuci gudang merupakan alternatif terbaik untuk menciptakan ruang kosong.

Bukan berarti Ve senang saat harus membanting harga sepatu-sepatu karyanya. Dia menyayangi semua sepatu itu hingga tidak rela melihat harga mereka jatuh. Tetapi dia tidak punya pilihan lain. Begitu modelnya out of date, sepatu-sepatu itu harus didiskon, atau tidak akan ada yang membeli mereka. Dia senang melihat banyak perempuan mengenakan label sepatunya, tetapi akan lebih senang jika mereka semua membeli saat harganya masih normal.

Meskipun tidak pernah mengalami kerugian parah, apalagi sejak labelnya makin dikenal, tetap saja dia sedih tiap kali melihat deretan tulisan sale harus dipajang. Dia sedang mengelap ujung pump toe setinggi sebelas senti berwarna aqua, dengan detail gelombang air di salah satu sisinya, ketika ponselnya berbunyi. Nama 'Jeje' yang tertera di layar membuat Ve menjawab panggilan itu.

"Butik hari ini mulai sale, kan?" cerca Jeje langsung.

"Iya, kenapa?"

"Bot semata kaki gambar koran yang ada retsleting di pinggirnya itu masih ada? Diskon juga gak?"

Hanya Jeje yang akan menyebut ankle boots sebagai bot semata kaki, newspaper print dengan gambar koran, dan zipper adalah retsleting, langsung dalam satu kalimat. Bahkan Nabil, suaminya, lebih bisa diajak berdiskusi mengenai detail sketsa sepatu yang sedang dibuatnya, daripada Jeje.

Ve menghampiri rak boots. Label 'Sale 10%' tertempel di pinggiran raknya. Dia mengambil sepatu yang dimaksud Jeje.

"Iya, masih nih. Tapi ukurannya 38. Kaki lo kan 40, saingan sama Aa"

"Kampret!" omel Jeje. "Gue masih bisa pakai nomor 39. Dan Nabil 41, gak usah bohong lo!"

Ve terkikik. "Oke, nyaris saingan sama kaki Aa" ralatnya. "Jadi, kenapa sepatunya. Mau? Nggak cukup di kaki lo"

"Bukan. Buat adiknya Dhiko. Dia ulang tahun, pecinta bot. Gue lupa cari kado dan acaranya malem ini. Simpenin, yah? Nanti pulang kantor gue mampir ke sana"

"Oke"

Ve membawa sepatu itu ke bagian belakang, tempat kotak-kotak sepatu tersimpan. Dia menjauhkan teleponnya sejenak untuk berbicara dengan pegawainya yang sedang berada di sana.

"Tolong cariin kotak sama pasangan yang ini dong, Sil" pinta Ve. "Kalau ketemu sekalian dibungkusin kertas kado, terus taruh di ruangan saya, ya?"

Sisil, pegawai tersebut, menerima bot yang disodorkan Ve. "Iya, Bu"

"Makasih" ucap Ve, kemudian kembali ke depan. Dia melanjutkan pembicaraan di telepon dengan Jeje. "Ada lagi?"

"Nothing. Thanks Veranda! Lo penyelamat gue!"

"Gue tau. Apalah jadinya hidup lo tanpa gue"

Terdengar tawa keras dari Jeje. "Yaudah itu aja. Bos gue udah lirik-lirik gara-gara gue telepon di jam kerja. Bye" tutupnya.

***

"Seperti yang kita tahu, tren sepatu kali ini kembali ke model chic and simple, khususnya buat kaum remaja" Ve berdiri, mengambil satu sampel sepatu di tengah meja.

Perfect LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang