1. Madrid

3.3K 123 47
                                    

The song of this chapter :
CD9-Me Equivoque
***


_________________•••________________
Senang akhirnya anda tiba di Madrid dengan selamat. Kunjungi alamat ini:

Emperador Hotel Madrid Gran Via, 53 28013 Madrid, Spain.

Jadwal Marc hari ini dan minggu kedepan kosong. Dia telah menunggu anda. Tolong di ingat, pintu nomor 193.
_________________•••________________




Itu adalah pesan teks dari Darren, asisten pribadi Marc Marquez. Setiba di Bandar Udara Internasional Barajas, aku langsung mengirim pesan memberitahukan bahwa aku sudah sampai.




_________________•••________________
<Tolong beritahu Marc, jika saya baru dapat datang kesana besok pagi pukul 08.00 AM. Saya ingin menemui seorang teman terlebih dahulu di Madrid dan akan menginap malam ini ditempatnya. Tidak apa-apakan? :)
_________________•••________________



_________________•••________________ >Oh, baiklah. Tentu tidak apa-apa. Saya akan segera memberitahu Marc agar dia tidak perlu menunggu kalau begitu. :)
_________________•••________________




Ini adalah kali pertama aku melangkahkan kaki di negara yang memiliki semboyan :



"Fui sobre agua edificada, mis muros de fuego son. Esta es mi insignia y blasón"




(Di air saya di bangun, dindingku terbuat dari api. Ini adalah benderaku dan perisai berlukiskan lambang).




España! Aku berada di Madrid, ibu kota dan juga kota terbesar di Spanyol. Kota yang terletak di Sungai Manzanares di bagian tengah negara Spanyol. Jumlah penduduk kota seluas 607 km2 ini adalah 3,228 juta jiwa. Dan telah bertambah satu dengan hadirnya diriku.




Aku tergelak singkat, sesekali berjalan memutar, menari seperti orang yang telah putus saraf sadarnya, dan tentu aku sangat bahagia.




Penduduk asli Madrid sering kali dijuluki madrileños. Aku jadi madrileños juga sekarang.




Setelah jet lag di dalam pesawat selama berjam-jam. Tak terhitung berapa waktu yang telah terbuang karena itu. Tapi ketika teringat keberangkatanku kemari ini gratis total, jadi aku sama sekali tidak amsyong juga.



Aku di sini sebagai guru private bahasa. Bahasa Indonesia, jelas.




Awalnya aku sedikit bimbang, lantaran usai S1 aku mendapati beasiswa penuh di Universitas Indonesia di Ibukota Jakarta, siapa pula yang ingin melewatkan kesempatan itu? UI, itu sungguh hebat. Tapi konyolnya aku lebih memilih ini.




Menjadi guru bahasa untuk seseorang yang aku tahu siapa dia. Dalam artian, tidak mengenal secara baik. Dan justru itu aku tidak yakin bisa bertahan.




Hanya di perlukan sampai akhir tahun. Kemudian kemana aku harus pergi? Beasiswa UI ku untuk S2 sudah hangus. Entah jadi apa aku selanjutnya? Dan entah ini takdir Allah atau pilihan konyolku.




Yang aku tahu aku sedikit menyesali beasiswa UI-ku itu. Sedikit. Jangan sampai setelah ini aku jadi gelandangan di Madrid. Astaghfirullah. Allah yang mengatur demi kebaikanku.




Kini aku masih berada di Bandar Udara Internasional Barajas. Sendirian. Tidak ada sanak saudara yang hendak menjemput. Tentu saja, wajahku indonesia asli, jawa tulen, kulit lumayan cenderung sawo matang.




Aku duduk di kursi tunggu bandara. Mengabaikan suara operator bandara entah apa yang ia katakan. Mereka menggunakan sedikit bahasa Inggris kemudian kebanyakan bahasa Spanyol mereka. Yang aku hanya ketahui sedikit-sedikit, itupun belajar lewat Internet.




Mataku terarah pada suatu tempat yang mencolok, tepat di depan ku. Beberapa orang berjejer rapi teratur sembari mengangkat board atau kertas kecil bertulis nama-nama orang yang hendak mereka jemput di Barajas ini. Yang tertangkap oleh mataku adalah nama-nama asing seperti Andy Pariente, Lucien Path, Anxello Vlore, dan masih banyak lagi. Sebagian mereka mengangkat kertas itu keatas kepala mereka.





Dari sekian banyaknya orang disana tidak ada namaku sama sekali. Tentu saja, mengapa aku berharap ada seorang penyelamat yang membawa kertas bertulis 'Diana de Indonesia'. Tidak mungkin.




Tak lama kemudian, ada seorang wanita muda bertubuh tinggi duduk di samping kiriku. Ku lihat sekilas, tanpa ingin membuat wanita itu risih.




Kulitnya putih pucat mulus seperti orang eropa kebanyakkan. Aku bergumam dalam hati. Kalau orang ini tinggal di Indonesia, tepatnya di desaku tinggal. Wah! Bisa-bisa wanita ini jadi bunga desanya dan rebutan para pemuda kampung. Untung saja tidak. Aku terkekeh dalam hati.




Melihat kami duduk bersama rasanya miris. Aneh. Aku risih dekat dia, dan rasa-rasanya dia juga demikian. Ada pemandangan kontras antara kami berdua yang tidak bisa di anggap sepele.




Wanita itu hanya memakai kaus pendek berwarna cokelat, cenderung mirip kaus dalam. Dan celana pendek yang biasanya disebut hotpants.



Sedangkan aku, memakai jubah panjang berwarna cokelat serta kerudung berwarna senada. Sama-sama pakai cokelat.




Detik kemudian, kami saling melirik koper kami satu sama lain, koper kamipun warnanya sama, warna biru toska. Aku terkekeh atas ketidak sengajaan ini, kemudian mengangkat wajahku dan melempar senyum seramah mungkin.





Pikirku, barang kali ia juga tengah berada dalam kebingungan seperti diriku. Dan barangkali wanita berambut pirang seperti Barbie ini bisa jadi teman pertamaku di Madrid ini.




Oh! Rasanya seperti tertampar dan tercekik ludah sendiri. Wanita itu berlalu pergi dan sebelumnya ia memutar bola matanya dariku. Aku tidak tahu apa yang ada di balik kepalanya. Tapi yang ku ketahui pasti kesimbongannya sungguh mematikan. Aku merasa sangat kapok detik ini juga. Oh, Ya ampun!




Kini aku mencari taxi. Udara di luara begitu dingin, padahal di dalam tadi tidak sebegini parahnya. Setelah mendapati taxi, tanganku langsung meregoh saku rok panjangku. Mengambil handphone. Mengetik pesan pada seseorang.


IGNITE. (Marc Marquez)Where stories live. Discover now