Seseorang Pemuisi (1)

4 0 0
                                    


"Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa." (Sapardi Djoko Darmono)

Terdengar suara yang mengagetkanku. Segera kumenoleh di sekitar tempat. Terdapat anak-anak bermain futsal dan bola voli di tengah lapangan. Suasana malam tempat ini selalu menawan. Cahaya lampu kota berpendar menghiasi malam.

"Itu suara siapa yang membaca puisi?" tanyaku pada teman yang sejak tadi duduk bersama.

Pelajaran pertama kelas kami kosong. Dosen yang mengajar tidak masuk. Alhasil, daripada menunggu di kelas sampai sejam ke depan, kami berempat memilih turun ke bawah. Di taman, -tepatnya di samping lapangan yang luas- menjadi destinasi untuk kami mengobrol. Membicarakan tugas-tugas, cerita pribadi, keluh kesah, hingga jodoh. Pembicaraan jodoh seakan tak ada habisnya. Padahal ada 'jodoh' yang selalu mengintai kita, kematian.

"Oh, itu suara kakak senior. Lagi latihan mungkin," jawab salah seorang temanku. Semuanya kembali pada obrolan semula.

Aku beranjak dari tempat itu. Berdiri menatap sekeliling. Mengamati setiap pemandangan yang tersajikan. Tiba-tiba mataku tertuju pada sesosok lelaki yang duduk di sudut lapangan. Pandangannya menunduk ke bawah. Di tangannya, terdapat secarik kertas. Ternyata dia seseorang pemuisi tadi. Yang tidak lama kemudian, dia mengeluarkan suara-suaranya dengan syair puisi yang indah. Terkadang menyayat hati. Suaranya lantang, menggelegar. Mungkin seantero kampus ini mendengarnya, tapi mereka hanya tak acuh. Melanjutkan aktivitasnya masing-masing.

"Lang, sini. Kamu lagi ngapain sih?" Irt memanggilku. Sebenarnya lebih enak menyendiri. Ya meskipun kita tidak bisa hidup sendiri.

"Lagi mencari sumber suara si pemuisi," jawabku singkat. Lalu ikut nimbrung lagi bersama geng kecil kami. Di kelas, kebanyakan mereka membentuk geng-geng sendiri. Tak terkecuali dengan kami. Akibatnya kekompakkan kelas jadi berkurang.

"Kamu sukanya menyendiri yah, Lang? Kadang aku juga ingin seperti kamu. Seperti tenang hidupnya." Ojos, orang yang justru paling cerewet dari kami pun tiba-tiba menyatakan ingin menyendiri. Nama aslinya bagus, tapi dia kerap dipanggil 'Ojos' oleh teman-teman.

Tempat parkir semakin ramai. Kebetulan letak lapangan dekat juga dengan tempat parkir. Kami bisa melihat siapa saja yang baru datang, ataupun mau pulang. Meski tak mengenali mereka. Aku membenarkan posisi duduk agar lebih nyaman.

"Aku suka menyendiri, Jos, agar makananku tidak diminta oleh kamu." Aku menjawab dengan nada bercanda, sambil tertawa kecil. Irt dan Luru pun ikut tertawa. Di antara kami, Ojos-lah yang paling muda -sekaligus kecil-, enak diajak bercanda.

Lapangan basket mulai riuh oleh anak-anak organisasi. Kami hanya menonton di sudut lapangan, berseberangan dengan si pemuisi tadi. Jarum jam terus berdetak. Tak terasa sudah menunjuk di angka 8. Ada pelajaran Bahasa Inggris setelah ini. Kami segera naik ke lantai empat di Gedung C.

***

"Kalian tahu? Dulu saya tidak suka sekali dengan matematika, sampai sekarang pun masih sama. Dan saya sangat suka Bahasa Inggris, sehingga bisa jadi dosen kalian ini." Miss Linda menjelaskan panjang lebar. "Saya menyesal, karena dari dulu mengatakan tidak bisa pada matematika. Kuncinya itu hanya merubah mindset kalian. Jika tidak suka dengan Bahasa Inggris, ubahlah dalam pikiran kalian. Bahwa kalian pasti bisa," tuturnya melanjutkan.

Semua mahasiswa nampak memperhatikan. Beda dari biasanya yang suka gaduh. Tapi aku berbanding terbalik dengan Miss Linda, dari dulu suka mengatakan tidak bisa pada Bahasa Inggris. sampai sekarang pun ya nggak suka. Sedangkan matematika, suka dari kecil. Sejak diperkenalkannya dengan rupiah, eh maksudnya diperkenalkan dengan angka.

Kupikir, ini bukan masalah mindset. Bukankah setiap passion orang berbeda-beda? Temukan passionmu, dan kejarlah itu. Pikiranku bermain-main sendiri. Kadang tidak sependapat, tapi tidak berani mengungkapkan. Hanya bisa berdialog antara hati dan pikiran.

Miss Linda dosen yang baik, cantik, juga tegas. Fasih berbahasa internasional itu. Setiap anak disuruh berbicara Bahasa Inggris yang benar, mengucapkan dan pelafalannya harus tepat. Ini adalah bagian yang membuatku tidak pede. Untuk membuka mulut berbicara di depan umum saja susah, apalagi ditambah dengan menggunakan Bahasa Inggris. Notabenenya aku tidak menyukai dari awal."Kau harus mencoba, Lang," ujar Luru sambil tersenyum padaku.

"Aku tidak bisa, Ru. Semenjak dulu juga aku tidak suka dan tidak bisa pelajaran ini. Jika berbahasa, aku lebih suka Bahasa Indonesia dan membuat puisi-puisi atau cerita khayalan sendiri," jawabku dengan cemberut. Sementara Luru tetap tersenyum kecil. Dia memang suka begitu, senyum-senyum. Tidak mudah marah.

Mulutku tetap bungkam. Saat yang lain bisa menirukan apa yang dicontohkan Miss Linda, bagiku sulit sekali. Mungkin memang sejak dulu mindsetku begitu. Lebih baik disuruh mengerjakan soal matematika, atau nulis beberapa lembar daripada praktik berbicara di depan kelas. Apalagi menggunakan Bahasa Inggris. Ingin segera usai saja pelajaran ini. 

"Irt, tadi itu siapa yang membacakan puisi?" tanyaku di sela-sela pelajaran, agar tidak membosankan. Nampaknya Irt juga sama denganku, mulai bosan dengan pelajaran. Sedangkan jika mengajak ngobrol Luru, takut mengganggu konsentrasinya. Dia paling rajin memperhatikan, entah mudeng atau tidak. 

"Kau masih memikirkannya, Lang? Haha."

"Bukan begitu, Irt. Aku hanya tertarik saja dengan caranya membacakan puisi. Kamu mengenalnya?"

"Jika ada yang mau melamarmu, apakah kau siap, Lang?" tanya Irtya mengejutkanku. 

"Kok pertanyaanmu melenceng dari yang kita bahas sih," aku menjawabnya dengan sedikit bingung. 

"Kenapa selalu mempeributkan jodoh, sedangkan ada 'jodoh' lain yang sedang mengintai kita, Irt."

"Irt, apapun kita harus siap. Entah jodoh atau maut yang akan melamar kita terlebih dahulu." Aku melanjutkan berbicara. Irt menyimak sambil memainkan pulpennya di atas kertas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 07, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Seseorang PemuisiWhere stories live. Discover now