Jejak 1

24 0 0
                                    

'Inget yo Dog, puncak itu adanya di bawah bukan di atas!'

Anjiiiir. Setahun lebih bayang-bayang si culun enggak pernah lenyap dalam otak gue.

"Jil, Jil! Lo udah nyatu ama tanah tapi kenapa susah banget kenangan kita enyah. Najis!"

Kejadian empat tahun lalu memang ngebuat gue drop, down and whatever. Gimana enggak? Gimana kalau lo di posisi gue? Lo di selamatin sama sahabat terbaik yang seringnya lo bully abis-abisan? Kurang ajar, kan, kebaikannya manusia satu itu? Hal yang selamanya enggak akan pernah terlupa. Benar memang, kebaikan akan terus hidup biarpun pelakunya sudah mati.

Gue? Hah! Hari-hari gue suram. Lebih suram dari hari-hari gue tinggal di kontrakan tiga petak ataupun di kostan mewah madam Ekarina. Balik ke Manado ternyata sebuah pilihan yang salah. Segalanya memang ada dua sisi, baik dan buruk. Gue happy karena tinggal sama Momi dan Dora, Popi juga sesekali pulang. Tapi gue sia-sia. Dora sudah sibuk sama kuliah kedokterannya, Momi cinta banget sama toko makanan khas daerah miliknya yang semakin bercabang. Kebutuhan gue semua terpenuhi. Enggak, gue enggak kelaperan lagi sampai harus kondangan di pernikahan orang yang enggak di kenal. Gue enggak kesusahan lagi sampai harus ngirit makan bakso semangkok berdua. Tapi semua hambar. Gue ngerasa enggak guna. Seongok daging berlabel nama. Cih!
Bangun tidur siang bolong, main gadget sampai tidur lagi. Kepoin sosial medianya Alanis yang sering banget update foto-foto dia sama suami dan bayinya. Ngelike-in status-status yang galau-galau. Nulis aamiin di kolom komentar. Update foto pura-pura bahagia, sok sibuk. Dunia macam apa yang gue jalani ini?

"Doska.. Udah bangun kau? Ayo makan, Momi masak makanan kesukaan kau" Kepala Momi nongol di balik pintu kamar, gue masih tengkurep di atas ranjang lebar. Malas buat mulai hari. Gue pejamin mata sejenak. Gue harus berpindah!

**

"Jakarta? Lagi? Untuk apa? Sudahlah, kau di sini saja bantu Momi di toko."

"Iya Bang, kenapa harus ke Jakarta lagi? Kita di sini bisa sama-sama terus, kan? Kenapa abang mau ngerantau lagi?"

Gue pandangi Momi dan Dora bergantian, gue pandangi sungguh-sungguh keduanya. Setiap malam, kita bertiga selalu kumpul di ruang keluarga untuk membahas satu hari yang telah dijalani. Seringnya, gue cuma bisa jadi pendengar dan berkomentar satu dua kata. Karena apa? Cerita apa yang mau gue bagi ke mereka? Enggak ada! Paling-paling sekadar ngajak cilung-ikan arwana punya Popi- ngayal porno. Oke. Gue enggak bisa terus-terusan begini. Gue telan ludah sebelum mulai menjelaskan.

"Kau merasa tak guna? Kau mau kerja? Ya sudah, kerja di sini banyak! Popi punya banyak kenalan di sini, Momi juga punya banyak rekan. Kenapa kau suka sekali menyusahkan diri sendiri, Doska?" Gue gelengin kepala yang mau enggak mau ngebuat rambut kribo gue ikutan getar.

"Enggak gitu, enggak gitu, enggak gitu Momi..." Bantah gue sedikit alay.

"Lalu?"

Momi natap gue sepenuh hati, gue tahu dia enggak mau kehilangan anak laki-laki terganteng miliknya. Gue paham.

"Abang terlalu nyaman tinggal di rumah. Hari-hari abang monoton, abang enggak berkembang, enggak nemuin hal-hal baru, konyol, atau aneh lagi kayak dulu-dulu. Setahun ini abang ngerasa, abang hidup tapi enggak ada nyawanya, Mom-" Kalimat itu meluncur gitu aja tanpa skenario, kalimat sekenanya. Raut muka Momi memelas, kepalanya menggeleng lembut dibarengi dengan gerak tangan yang menyentuh pipi gue. Persis adegan Korea dimana si tokoh utama cewek baru saja menolak ketika si tokoh utama cowok menyatakan cintanya. Si tokoh utama cewek akan menyentuh pipi si tokoh utama cowok sambil memberikan alasan yang paling tepat. Eh? Ini, kan Momi gue? Kenapa nyamainnya sama adegan di drama Korea? Huft!

"Kau sudah yakin? Mau tinggal dimana?" Gue ngangguk manis sambil jawab mantap "Kostan madam Ekarina, Abang mau kost di sana lagi."

"Yakin kau? Di sana, kau, teman kau itu.." Kata-kata Momi terhenti, gue tahu apa yang mau Momi sampaikan, gue ngerti. Gue ngangguk pelan sambil senyum tegar. "Momi enggak usah cemas, Sijil orang baik. Walopun abang balik atau enggak ke kostan madam Ekarina, Sijil akan tetap terkenang Mom. Dia pantas untuk itu."

"Anak Momi benar-benar sudah dewasa, kau kapan nikah?"

Jleb!

Momi ketawa. Dora ketawa. Gue juga ketawa. Malam itu menjadi malam terakhir yang cantik. Momi langsung telpon Popi, ngasih rentetan alasan supaya gue di izinin merantau lagi.

'Sijil! I will back, with or without you.' Gue membatin dengan ingatan yang menayangkan semua langkah yang pernah terjadi antara gue dan sahabat nomor satu gue. Pelan-pelan senyum mengembang di wajah gue, seketika, gue berikrar 'gue pengin jadi orang baik' macam Sijil, kelak, kalau gue di ingat, gue mau orang yang mengingat gue tersenyum. Persis gue yang mengingat Sijil di malam ini. Diiiih, kenapa gue begini? Huuuuuuuh!

**

Ting tong .. Ting tong ..
Gue dua kali menekan bel di gerbang rumah madam Ekarina. Gerbang hitam tinggi itu telah berubah warna, rumah madam juga terlihat belum lama di renovasi. Rangkaian rasa menyatu dalam batin, gue enggak sabar menerima kejutan kehidupan yang akan gue jalanin.

"Wait! Wait.." Suara itu.. Itu suara khas milik madam. Gue berdiri tegak di depan gerbang, siap membuatnya terkejut.

Pelan-pelan, gerbang itu terbuka. Gue menyiapkan senyum selebar mungkin sambil menyapa "maaaaaaaa......"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 18, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

LANGKAH #2Where stories live. Discover now