What are You Waiting For?

1K 66 10
                                    

Hari ini bukan hari terbaik Lee Yunhee.

Seharian dia mengurung diri di kamar, terlentang di atas ranjang tanpa melakukan apa-apa. Bukan berarti dia sedang malas-malasan atau bersantai ria. Justru sebaliknya. Pikirannya berkecamuk. Dia sedang bingung dan kesal.

Bangkit dari posisinya, Yunhee duduk dengan sangat tegap. Dia menatap lurus dinding di hadapannya, matanya menewarang. Sesaat kemudian, dia mengacak rambutnya dan berteriak kencang dalam keputusasaan.

Tidak ada satupun yang dapat menolong selain dirinya sendiri.

Kau pasti bertanya apa yang sangat mengganggu pikiran wanita berusia 23 tahun itu. Oh, tenang saja. Ada banyak masalah yang sedang membelenggunya. Kau bisa membuat list dan itu tidak akan cukup menuliskan seberapa banyak masalah yang Yunhee alami.

Atau, kau bisa menyebutnya, masalah yang secara tidak sengaja dia ciptakan sendiri.

"Kau pasti sedang bercanda, kan, Lee Yunhee?" Yunhee berkata pada cermin yang memperlihatkan pantulan dirinya.

Harusnya dia kaget melihat betapa kacau wajahnya saat itu. Rambut acak-acakan, maskara yang luntur, dan sudah pasti air liur yang telah kering menempel pada sudut bibirnya.

"Bagaimana bisa kau bisa menghilangkan tugas penting itu? Kau ini bodoh atau apa!?" Bentaknya sambil menunjuk dirinya sendiri.

Ya, itulah yang mengganggu pikiran Yunhee. Tugas penelitian yang seharusnya sudah dia kumpulkan kemarin tapi bodohnya, dia meninggalkan goodie bag yang berisi tugas penting itu di stasiun dan ketika dia kembali, barang yang dicarinya telah raib.

Tidak. Tidak hanya penelitiannya yang raib. Yunhee masih bisa mencetak ulang hasil kerjanya, justru tanda tangan profesor yang tertera di dalamnya lah yang sangat berharga. Bisa mendapatkan tanda tangan itu merupakan sebuah keajaiban. Bagaimana tidak? Kau harus membuat janji—minimal satu minggu sebelumnya—untuk dapat bertemu dengan profesor ini dan meminta tandatangan persetujuannya. Sedangkan Yunhee hanya punya lima hari sampai deadlinenya tiba.

Sial. Beribu sial.

"Apakah aku harus menyusul ke rumahnya?" Tanyanya lagi pada cermin. "Oh, tidak. Kau pikir mudah menyusulnya ke Busan? Tidak mungkin, Yunhee. Kau tidak punya uang sebanyak itu untuk memesan tiket pesawat dan biaya penginapan."

Sekali lagi berteriak dalam keputusasaan, Yunhee melemparkan tubuhnya kembali ke atas matras, mengacak-acak selimutnya pada saat yang bersamaan.

"Arggghhhh!"

***

Delapan jam kemudian, Yunhee berdiri di depan gedung apartemen sewaannya. Lengkap dengan sebuah koper yang berdiri di sampingnya dan tas tangan bertengger di tangan kirinya.

Kabar baiknya, Yunhee mendapatkan respon dari sang profesor bahwa mereka bisa bertemu. Kabar buruknya adalah jika dia bersedia pergi ke rumah sang profesor, yang tidak lain dan tidak bukan berada di Busan. Perjuangan memang. Namun, Yunhee tidak merasa khawatir karena dia mendapatkan ide cemerlang.

Yunhee tampak bersinar di bawah teriknya matahari pagi itu, dibalut oleh blus tipis bertali bahu berwarna biru laut, rok putih di atas lutut, dan sebuah topi pantai putih yang melekat di kepalanya. Yunhee melepaskan kacamata hitamnya begitu sebuah Mercedes hitam berhenti di hadapannya.

Seorang pria dengan setelan santai—jeans biru dan kaos putih—keluar dari mobil tersebut. Sambil menggaruk kepalanya dan tertunduk malu, dia melangkah menghampiri Yunhee.

"Noona—" Sisa kalimat pria muda itu tak sempat terselesaikan karena tas tangan Yunhee sudah mendarat dengan sempurna di kepalanya. "Aw!"

"Oh, sakit itu tidak seberapa." Cibir Yunhee.

"Untuk apa kau melakukan itu?" Erang pria itu seraya mengelus kepalanya.

"Untuk apa, kau bilang?" Bentak Yunhee kesal. "Kau pikir ini jam berapa, huh?"

"Kau tidak tahu macetnya Seoul."

"Oh, aku sangat tahu, Arsen Lee, untuk itulah aku memperingatkanmu untuk berangkat lebih pagi. Dan, lihat, apa yang kau lakukan sekarang?"

"Astaga, kenapa kau bawel sekali, sih?" Arsen melambaikan tangannya di depan wajah Yunhee kemudian berjalan memutari wanita itu dan membukakan pintu mobil untuknya. "Beruntung aku tidak punya saudara perempuan."

"Kau anak tunggal, ingat? Jadi perlakukan sepupumu ini baik-baik karena kau hanya punya aku." Yunhee mendelik padanya. "Nah, masukkan koperku."

Arsen menaikkan sebelah alisnya, "Apa?"

"Koperku, Arsen." Yunhee menekankan dengan nada lembut yang dibuat-buat.

"Sebenarnya, berapa lama kau akan meningap di apartemenku?"

"Mungkin seminggu." Yunhee merespon acuh-tak acuh, dia bahkan sempat mengibaskan rambutnya dengan angkuh. Pertanda bahwa dia sedang tidak main-main. "Kau tahu, aku juga butuh liburan." Katanya serya menutup pintu mobil.

Tidak lama, terdengar suara ketukan dari luar mobil dengan wajah Arsen yang kebingungan terpampang jelas menutupi kaca. Mendesah, akhirnya Yunhee menurunkan kaca mobil dan bertanya dengan sorot matanya.

"Kau bilang kau berniat menemui Profesormu yang tinggal di Busan." Arsen mengingatkannya.

"Ya."

"Lalu apa maksudmu dengan 'liburan'?"

"Satu hari untuk bertemu profesor, sisanya untuk bersenang-senang." Yunhee mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil. "Ayo, tunggu apa lagi?"

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 01, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Love is Creepy, It's Love AnywayWhere stories live. Discover now