Brown Eyes - Chapter 1

ابدأ من البداية
                                    

"Baik, Dok."

Ciarán mengangguk dan kembali pada pasiennya dengan tersenyum. Wajah pemuda ini sedikit mengingatkannya pada seseorang, terlebih dengan rambutnya yang pirang. Itu sebabnya ia tidak ingin mengecewakan lagi.

"Jangan takut, kami akan memperbaiki semuanya, dan kau akan bisa bermain bola nanti. Mungkin akan butuh waktu, tapi aku jamin, kau akan bisa bermain bola lagi!" Ciarán dengan pasti, yang langsung melegakan mereka.

"Itu yang kubutuhkan, terima kasih, Dok!" Matthew tersenyum senang.

"Sama-sama... Aku akan menengokmu besok sore, oke..."

"Siap, Dok!"

Ciarán mengangguk dan beranjak, kembali berjabat tangan dengan Tn. dan Ny. O'Byrne, sebelum keluar dari kamar.

Ciaran menarik nafas lega, pasien terakhirnya yang harus ia kunjungi hari ini, sebelum ia pulang.

"Saya boleh pulang sekarang, kan?" Ciarán memastikan lagi pada perawatnya, tanpa ada senyum di sana meski dengan suara tenang.

"Boleh, Dok," Perawat Jacq menjawabnya dengan tersenyum gugup.

Ciarán mengangguk, "Terima kasih." Masih dengan wajah tanpa senyum dan emosi. Lalu beranjak meninggalkan lantai ruang rawat inap rumah sakit ortopedi terbaik di negaranya.

Masih terdengar bisik-bisik dari perawat lainnya mengekor di belakangnya, Bahkan tanpa senyum-pun, dia masih terlihat mempesona. Aku suka wajah dinginnya...'– merupakan hal yang tidak aneh ia dengar, dan tak pernah dia meresponnya

Sampai di lobi bawah, langkahnya terhenti dengan seruan bersemangat.

"Dokter Ciegan...!!"

Ciarán berbalik dan melihat seorang gadis dengan tangan kiri terbalut gips, berlari kecil menujunya. Ia mengenalnya sebagaI salah satu pasiennya, bernama Aoife (baca Eva), umur 16 tahun.

Ciarán harus menggips tangannya seminggu yang lalu karena jatuh dari tangga sekolahnya.

"Hey, Aoife." Ciarán menyambutnya dengan hangat meski ada rasa cemas. Seingatnya Aoife baru akan kembali ke rumah sakit dalam dua minggu untuk mengecek gipsnya, bukan hari ini.

"Syukurlah aku bertemu dengan Dokter di sini..." Terengah engah Aoife mengatur nafasnya.

"Ada keluhankah?" Penuh perhatian mata tertuju pada gips hasil karyanya.

Gadis berambut coklat itu tersenyum renyah, "Ah, tidak ada, Dok..., hanya mau minta tanda tangan Dokter di gips-ku..." Dengan mengulurkan tangan yang terbalut gips kering dan keras, sementara tangan kanannya menyodorkan spidol berwarna hitam.

Ciarán tersenyum lega, dan menerima spidolnya. Terlihat sudah ada beberapa bubuhan tanda tangan di sana.

"Ahhh, sudah banyak rupanya..." Ciarán tersenyum renyah.

"Iya, teman-temanku..., tapi belum lengkap kalau belum ada tanda tangan Dokter Ciegan, hehehehe,"

Ciarán hanya tersenyum, "Di mana saya tanda tangannya...?" Dengan mencari spot yang masih kosong.

Tersisa tempat untuknya membubuhkan tandatangannya.

- GWS Aoife –big hug and love , Ciegan -

Aoife tersenyum senang dan puas. "Terima kasih, Dokter ..."

"Dengan senang hati..." Ciarán tersenyum.

"Ok, Dok, sampai ketemu minggu depan..." Aoife menyeringai gugup merah merona.

"Yup, sampai ketemu minggu depan..."

Gadis di hadapannya masih tersenyum gugup, dan dengan cepat memeluknya, mengagetkannya. Ciarán hanya tersenyum dan menepuk pelan.

Hanya sesaat, gadis itu langsung melepaskannya dan dengan tersenyum malu berlalu dari hadapannya dengan sesekali mencuri pandang tersenyum malu padanya.

Ciarán masih tersenyum tipis melihat pasien mudanya yang bersemangat.  Hmm mirip dengan Ally.

Ditariknya nafas dalam-dalam, sebelum ia kembali melangkahkan kakinya menuju pintu keluar dan mobilnya.

Memasuki mobil Porche hitamnya, tepat ponselnya berbunyi. Ia langsung menghubungkannya pada layar komunikator mobilnya.

"Selamat sore, Sayaaaanggggg...!!!" Seruan hangat penuh semangat serta wajah yang ia sayangi muncul di layar komunikatornya.

"Sore, Maaa..." Ciarán tersenyum hangat.

"Pulangkah kau malam ini, Nak? Haruskah Maa buatkan Sup Hati Angsa kesukaanmu agar kau pulang, Sayang...?" Ibunya sedikit merajuk.

Ciarán terkekeh dengan rajukan Ibunya, "Nanti malam aku pulang kok, Maa, tapi mungkin agak terlambat sampai rumah..."

"Kau di mana sekarang?"

"Baru mau keluar rumah sakit. Tapi masih ada yang harus aku lakukan sebelum pulang..."

"Ok..." Ibunya tersenyum ringan di layar kominikatornya.

"Ng..., kabar Dadda hari ini, Maa?" Ciarán setengah ragu.

Maureen Egan tersenyum hangat, "Daddamu, hari ini sibuk dengan lagu barunya di studio."

Ciarán terkatup, "Tentang Kelly...?"

Maureen menggeleng tersenyum, "Dia memang belum keluar dari sana sejak pagi..."

Ciarán terdiam perih.

"Tapi jangan takut, Daddamu baik baik saja..." Suara Ibunya berusaha kembali ceria untuk mengalihkannya. "Ci tak perlu khawatir."

Ciarán tersenyum tipis. Dari pengalamannya, Ayahnya sedang menenggelamkan diri dengan kesibukannya, terlebih setelah...

Ia menarik nafas dalam-dalam dan mengangguk.

"Sampai ketemu nanti malam, Sayang ..."

Ciarán mengangguk.

"Safe drive, baby..., LUV YAAA-MUAH!!!" kemudian menghilang dari layar komunikatornya.

Ciarán tersenyum pada Ibunya sebelum mematikan komunikatornya.

Ditariknya nafas dalam-dalam, sebelum menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah sakit. Ia butuh pergi ke suatu tempat sebelum pulang ke rumah.

TBC

Brown Eyesحيث تعيش القصص. اكتشف الآن