Chapter 2

4.2K 406 77
                                    

Aku terkesiap ketika Kendall meloncat ke dalam pelukanku. Ia bahkan memelukku begitu erat sampai-sampai aku tidak bisa menolaknya. Sialan karena tubuhku meresponnya terlalu cepat. Bisa kurasakan darah di sekujur tubuhku langsung berdesir hebat bersamaan dengan jantungku yang berpacu kuat. Pikiranku yang sejak tadi masih berkecamuk membuat situasi ini terasa semakin menekanku.

Oh, brengsek. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tahu kebiasaan yang dilakukan oleh Harvey jika ia baru saja pulang setelah selesai dengan tugasnya.

"Harvey..." Kendall melepas pelukannya, menatapku dalam dan teduh. Ia menarik kedua sudut bibirnya menjadi senyuman tipis yang lebih terlihat seperti dipaksakan. Apakah dia men...—oh, tidak! Tidak, tidak, tidak. Jangan sampai dia mencurigaiku.

"Ya, sayang, aku di sini." Aku membalasnya, memaksa mengulas senyuman tulus pada wajahku. Entah mendapat bisikkan atau pun dorongan dari mana, namun dengan segera aku menarik Kendall ke dalam pelukanku dan mengusap-usap rambut halusnya. Astaga, kuharap Kendall tidak bisa merasakan dadaku yang berdebar-debar ini.

Sesungguhnya aku tidak yakin dengan apa yang kulakukan sekarang. Aku melakukannya semata-mata karena aku tidak ingin jika Kendall sampai mengetahui hal ini—jika aku bukan Harvey—lebih awal, jadi aku berusaha menghilangkan kegugupanku dengan memeluknya. Well, sebenarnya akan lebih baik jika Kendall tidak mengetahui masalah ini. Aku yakin masalahnya akan semakin rumit jika Kendall mengetahuinya. Lagi pula Harvey sendiri sudah berjanji padaku bahwa semua ini hanya lah sementara sampai kondisinya membaik sehingga ia bisa pulang kemari. Oh, Harvey... Semoga dia lekas pulih sehingga aku tidak perlu merasa tertekan seperti ini.

Tidak lama, Kendall menarik diri dariku lantas membawa kedua tanganku untuk menangkupkan wajahnya dan menatapku lekat-lekat. Sepertinya dia sengaja melakukan semua ini. Dan lagi-lagi aku merutuk diriku sendiri karena tubuhku meresponnya terlalu cepat. Lambat laun keringat dingin keluar dari tubuhku, wajahku terasa panas, dan aku bahkan tidak sanggup jika harus membayangkan seperti apa diriku saat ini jika rona merah yang memalukan itu melingkupi sekitar wajahku. Brengsek. "Aku sangat merindukanmu, apa kau tahu itu?"

Oh! "Te-tentu saja aku tahu, sayang. Aku juga sangat merindukanmu dan bahkan aku tidak bisa berhenti memikirkanmu selama aku berada jauh darimu."

Kendall menjawab agak lama. "Bagaimana kabarmu selama kau ada di Iraq, Harvey?"

"Aku senang karena semuanya berjalan lancar. Meskipun kondisi di sana memang sangat berantakan, tapi syukurlah akhirnya aku dan yang lain bisa mengatasi semuanya. Bagaimana denganmu dan Charlotte? Aku sangat mengkhawatirkan kalian."

"Syukurlah. Aku juga sangat mengkhawatirkanmu, Harvey." Katanya, menghembuskan napas panjang penuh kelegaan. Apakah sedari tadi ia menahan napas? "Well, aku merasa lebih baik setelah melihatmu ada di sini. Charlotte terus menanyakan keberadaanmu dan kapan kau akan pulang. Karena aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya diam tidak menjawab sampai-sampai membuatnya kesal. Dia bahkan sempat berkata jika kau tidak kembali lagi, maka dia sendiri yang akan pergi ke Iraq untuk membawamu pulang."

Aku dan Kendall terkekeh bersamaan. "Begitukah? Oh, ya Tuhan, maaf jika aku sudah membuat kalian begitu bersedih. Betapa aku merindukan kalian." Aku menarik Kendall ke dalam pelukanku lagi, dan aku mendesah lega ketika kurasakan Kendall membalasnya dengan hangat. Aku bahkan bisa merasakan keantusiasannya di dalam pelukan kami. Andai saja kau mengetahui hal yang sebenarnya sedang terjadi, Ken.

"Tapi, Harvey..." Kendall mendongak, menatapku penuh selidik dengan tangan yang masih melingkar pada tubuhku. "Mengapa kau tidak mengirim surat untukku lagi? Kau bahkan tidak memberi kabar maupun membalas suratku selama delapan bulan lebih."

CamouflageWhere stories live. Discover now