Chapter 2 - "Pembully-an yang Tidak Terlihat"

41.6K 4.1K 98
                                    

YUME

Cobaan bagiku adalah, aku harus bangun pagi-pagi untuk ke sekolah. Bukan karena saat ini sedang memasuki musim dingin dan tidur di dalam selimut hangat sangatlah mengiurkan. Aku selalu kesal jika memasuki gedung sekolah. Aku seperti dibully di sana, dan tidak ada yang menyadarinya sama sekali. Atau malah, aku menganggap ini lebih buruk dibanding dibully. Aku juga tidak bisa menceritakan kemampuanku kepada siapapun, karena tidak akan ada yang mempercayai keadaanku di zaman modern seperti ini.

Semua orang tahu bahwa di dalam sebuah bangunan lama seperti sekolah, pastilah ada yang namanya hantu. Jangankan sekolah yang baru berdiri berapa belas tahun, mungkin saja sekolah yang baru saja di resmikan kemarin juga angker. Tidak ada yang bisa memprediksi tempat apa itu sebelum dibangunnya sekolah.

Tapi bukan itu.

Sebenarnya, semua tempat mempunyai penunggunya sendiri. Bumi adalah satu tempat dimana ada dimensi yang tak kasat mata juga menempatinya. Dan keluargaku, keluarga Ootonashi memiliki kemampuan untuk melihat arwah dan jiwa-jiwa yang dulunya dimiliki oleh manusia.

"Selamat pagi," sapaku kepada Okaa-San yang tengah mengeluarkan ramen instan untuk sarapan pagi kami, juga kepada Otou-San yang tengah menyesap teh hijau.

"Pagi," balas mereka bersamaan.

"Mana si kembar?" tanyaku saat merasakan kekosongan di meja makan.

Mereka tidak berlarian di lorong atau ribut di kamar mandi karena berebutan kursi untuk memanjat agar bisa menyikat gigi mereka. Mereka juga tidak sedang tidur karena aku sempat mendatangi kamar mereka dan sudah kosong.

"Mereka sedang di luar, menunggu salju."

Aku mengangguk mengerti, aku ikut menyesap teh hijau dan segera mengalungkan syal di leherku untuk kehangatan.

"Yume panggil mereka masuk dulu," ucapku sembari berjalan menjauhi pintu ruang makan.

Dari lorong, Aku dapat melihat pintu depan terbuka. Udara dingin memasuki rumah, membuat kakiku kedinginan karena belum memakai satupun alas kaki.

Saat ini, baru permulaan musim dingin, tidak mungkin salju langsung turun dalam sekejap, kan? Tapi kedua anak itu tampaknya belum tahu apa-apa. Saat aku sudah sampai di ambang pintu, keduanya menatap ke arah langit yang berwarna biru pucat, uap kecil tercipta setiap mereka bernafas.

"Masih belum turun," gumam Momo. "Padahal kita sudah menunggunya enam hari."

"Hm," Akato membalas. "Mungkin besok?" Keduanya hening, masih menatap langit.

"Aka, Momo." Aku menegur setelah beberapa saat keheningan. "Yuk makan. Ramen-nya matang sebentar lagi."

Keduanya berbalik dengan senyuman lebar di wajah mereka. "Ramen!" seru mereka sambil bersorak berlari masuk. "Raaameeen~"

*

"Hati-hati," pesan Okaa-San kepadaku dan si kembar saat mereka sudah hendak berangkat ke sekolah. Wajahnya masih gelisah meskipun sudah setiap hari dia menghadapi hari seperti ini—melepaskan kami keluar dan membiarkan kami 'melihat' dan 'berinteraksi'.

Aku menganggukan kepala, lalu mengandeng Momo dan Akato.

"Kami pergi dulu."

Di sepanjang jalan menuju stasiun, beberapa orang terus mengintip dan mengintai kami dengan tatapan licik, seolah menunggu waktu yang tepat untuk menyerang saat kami lengah.

Akato dan Momo sudah terbiasa dengan tatapan aneh yang diberikan para orang-orang itu. Berbeda sekali saat mereka masih berumur dua tahun, mereka menangis histeris dan memutuskan untuk tidak keluar rumah selama seminggu penuh.

DN [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant