***

 Adil menimang-nimang ponselnya, berat, akhrinya ia menekan nama Cintia di daftar kontaknya. Dibanding Zahra, adiknya yang lebih muda itu, berbicara dengan Cintia, sang kakak, memang lebih menenangkan dan lebih berguna.

"Halo, Dil," sapa Cintia ketika telpon itu akhirnya tersambung.

"Mbak," Adil menarik napas, "aku mau cerai dari Lia."

****

"Hai Tar," sapa Dera begitu sambungan telepon diangkat. Berbeda dengan orang pacaran kebanyakan, Tara dan Dera sepakat untuk tidak posesif pada satu sama lain. Komunikasi itu penting, menelepon keseringan itu tidak penting.

"Der, aku mau ngomong serius."

"Shoot."

"Aku mau kita bubaran."

Dera membatu. Bubaran? Putus? Broke up? Tapi.. kenapa? Apa Dera melakukan kesalahan? Atau Tara menemukan perempuan lain? Tapi, satu-satunya yang keluar adalah gelak disusul, "kamu lagi bercanda, ya?"

"Terserah kalau kamu mau berpikir begitu," sahut Tara tanpa tawa. Sahutan yang membuat tawa Dera beku seketika. "Aku toh enggak perduli lagi."

"Kenapa, Tar?" tuntut Dera. "Kita keliatan baik-baik aja."

"Ini bukan tentang kita, Der. Ini lebih dari itu."

"Apa, Tar? Jelasin ke aku," pinta Dera, nyaris menangis.

"Aku cuma mau, kamu tau rasanya jadi aku: terbuang seumur hidup."

***

"Itu tadi apa maksudnya?" tanya Luna begitu Tara meletakkan ponselnya di atas meja. Kelegaan di dada Tara meluap, digantikan dengan keterkejutan yang gagal ia tutupi.

"Mama? Sejak kapan?" Sejak kapan Luna ada di depan pintu kamar Tara? 

"Mama cuma mau manggil kamu buat makan, tapi mama benar-benar kaget. Apa maksud kamu dengan terbuang seumur hidup? Kamu enggak terbuang, Tara. Ya ampun. Dan apa maksudnya menujukan kalimatnya itu pada orang yang sepertinya.. pacarn kamu itu?" Luna benar-benar kehilangan arah. Luna tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi, apapun itu, Luna harus mengetahuinya. Bagaimanapun, Tara adalah anaknya. Tanggung jawabanya untuk membuat Tara tetap ada di jalur kewarasan dan mengikuti akal sehat. Cukup ia yang kehilangan akal sehat dulu, jangan sampai apapun bisa membuat Tara menjadi kloning dirinya yang dulu. 

"Tara!" Teriak Luna. "Jawab!"

Gugup, dengan terbata, Tara menyahut, "Dera itu pacar, maksud aku mantan aku."

"Trus apa maksud kalimat terakhir kamu?" tuntut Luna. "Apa maksud kamu bilang dia akan merasa terbuang seumur hidup?"

"Karena aku berhasil membuat Ayahnya memilih aku."

Luna semakin tidak mengerti. Ayah kekasihnya memilih Tara? Apa maksudnya coba itu? 

"Kamu.. gay?" tanya Luna terkejut. "Astaga, kamu gay atau enggak, merebut suami orang itu bukan tindakan terpuji. Kamu enggak perlu ngulang kesalahan Mama."

Tara memutar matanya. "Ma, aku gak gay. Yang aku maksud dengan Ayah Dera memilih aku itu bukan seperti yang mama maksud."

"Trus?"

"Ayah Dera sepakat menceraikan istrinya dan meninggalkan anaknya. Buat aku."

"Kamu beneran gay, Tar," cetus Luna. Ia mendekat hendak memeluk anaknya, "gak papa, sayang. Mama ngerti."

Sebelum Ibunya sampai ke pelukan Tara dengan cepat Tara berteriak, "Aku gak gay, Ma!"

"Tapi itu yang kamu katakan tadi!"

"Aku enggak bilang aku gay!"

"Kamu menyampaikannya seperti itu!"

"Papanya Dera mau nikah sama Mama!"

"Hah?! Kamu ngejodohin Mama sama Papanya pacar kamu? Mama enggak butuh suami!"

"Dera itu klan adibrata," cetus Tara cepat. "Aku udah ketemu Papa aku. Dia mau ninggalin keluarganya demi kita, Ma."

Luna membatu. Adibrata? "Adibrata?"

"Iya, Ma. Semua hak aku, akan aku dapat. Aku akan jadi anak normal lainnya. Punya Ayah dan Ibu. Dan sekarang, Dera dan saudara-saudaranya akan berganti posisi jadi aku, terbuang!"

PLAK!

Itu pertama kalinya seumur hidup, Luna menampar Tara. Dan setelah tamparan itu, dengan napas menderu, ia berkata, "dengar ya Tara, kalau mama mau, mama bisa nikah sama papa kamu dari sebelum kamu lahir! Mama yang ninggalin Papa kamu, bukan sebaliknya!" Tara memegang pipinya, perih. Tapi bukan perih di pipi, di dadanya. Sesak dan menyakitkan. "Dan asal kamu tau: kita enggak terbuang! Enggak punya ayah bukan definisi terbuang. Mama enggak pernah punya satu orang tua pun. Kamu beruntung masih punya Mama. Tapi, atas semua yang terjadi atas hidup Mama, mama enggak pernah merasa terbuang. Mama bahkan enggak mencari cara untuk membuat orang tua angkat Mama memilih Mama dan membuang anak-anaknya."

"Ma, aku pantas mendapat kasih sayang seorang ayah!"

"Just because you want something doesn't mean you have to get it!"

"Lagian Papa juga setuju!" Tara benar-benar bersikeras.

"Papa kamu itu udah kehilangan fungsi otaknya karena kebanyakan makan mecin!"

"Ma!"

"Gak ada yang perlu kamu jelasin. Kalau sampai si Adil sialan itu datang, Mama yang bakal ngusir dia. Kamu sama dia sama aja. Kebanyakan makan mecin tau kalian!"

Tara menatap punggung Ibunya yang menjauh.

Sia-sia? Jadi usaha diplomasinya tadi.. sia-sia?

[3/3] It's tomorrowOù les histoires vivent. Découvrez maintenant