Bab 1 : The Proposal (Bagian 1)

7.8K 257 46
                                    

"Kamu mau jadi istriku?"

Pertanyaan itu membuat tawaku terhenti seketika. Tanganku yang memegang sendok membeku di udara. Dan aku tidak bisa bernapas.

"A ... a ... apa?" gumamku terbata.

Kedua mataku terbelalak. Menatap pria dengan kaos oblong putih yang duduk di sisiku. Pria itu balas menatapku dengan mata cokelatnya yang dalam, tanpa keraguan. Alisnya yang lebat tertutup rambut, efek dari kesibukan yang memaksanya absen dari tempat pangkas rambut selama satu bulan ini. Sepasang bibirnya yang penuh menyunggingkan senyum, sama sekali tidak terpengaruh dengan reaksiku.

Satu menit yang lalu kami sedang tertawa menonton acara komedi di salah satu stasiun televisi. Aku duduk dengan es krim berukuran besar di pangkuanku, sementara dia duduk dengan sebelah tangan memainkan rambutku. Tubuh kami saling menyandar, menikmati kehadiran satu sama lain. Membiarkan waktu bergulir dengan kenyamanan yang melingkupi.

Bagaimana bisa rutinitas santai yang kami lakukan setiap akhir pekan mendatangkan pertanyaan itu?

"Kamu nggak dengar?" tanyanya, masih dengan senyum teduhnya. "Aku nanya, kamu mau jadi istriku?"

Kali ini sendok di tanganku terlepas dari genggaman tanpa sempat kucegah. Meluncur tanpa hambatan ke lantai apartemennya yang berwarna putih sempurna. Suara dentingnya membuatku tersadar bahwa hal yang sedang terjadi ini adalah kenyataan.

Fathan melamarku.

"Ellya?" panggil Fathan.

Aku tidak merespons.

"El?" Kali ini dia menyentuh lenganku, berhasil membuatku keluar dari zona syok yang mengurungku.

Kami bertatapan. Fathan dengan ekspresi penuh harap, sementara aku ... masih mencoba untuk bernapas dengan benar. Aku membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar.

Apa yang terjadi?

Ah, benar. Aku bingung. Aku baru saja dilamar. Segala macam perasaan membanjiriku. Aku tidak bisa bersuara karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari pria yang sudah menjadi kekasihku selama tujuh tahun.

"Ellya?" Fathan bergerak ke hadapanku, lalu berlutut. Ia mengambil kotak es krim di pangkuanku, memindahkannya entah ke mana. Kedua tangannya kembali untuk menyentuh tanganku. Menggenggamnya. Ekspresi penuh harapnya kini bersanding dengan ekspresi lain. Campuran antara bingung dan cemas.

"Aku tahu cara melamarku ini nggak romantis," ucap Fathan lembut. "Tapi ... aku serius. Aku mau nikah sama kamu. Punya keluarga dan hidup bahagia bareng kamu. Waktu tujuh tahun sudah cukup buatku. Aku yakin cuma kamu satu-satunya perempuan yang pantas jadi ibu dari anak-anakku. Aku yakin ... cuma kamu satu-satunya perempuan yang aku cintai sekarang, juga selamanya...."

Jantungku berdegup begitu cepat. Membuatku mengepalkan tangan lebih erat. Tidak ada keraguan dalam setiap kalimat Fathan. Aku memercayainya.

Lalu ... mengapa aku tidak bisa menjawabnya?

"Ellya...."

Aku menarik napas. Kedua mataku terpejam. Ketika akhirnya aku membuka mata, aku menyuarakan satu-satunya jawaban yang terpikirkan olehku.

"Aku ... nggak bisa jawab sekarang, Than," bisikku lirih.

Mata Fathan menunjukkan rasa terkejut. Meski begitu, bibirnya mengukirkan senyum. Ia menegakkan tubuhnya, lalu mengecup keningku.

Take Me for Granted (Eternity #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang