KEPING PERTAMA

329 13 12
                                    

KEPING PERTAMA

Acara makan besar dalam rangka genap usia ku yang ke 25 tahun berjalan lancar. Hanya ikatan keluarga yang dekat, serta teman-teman ku yang juga bisa menghandiri acara ini. sekitar 50 orang masuk dalam rumah ku. bukan untuk merayakan pesta ulang tahun, hanya saja ini semacam bentuk ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan, karena di usia ku yang ke 25 sudah bisa mendapatkan pekerjaan-walaupun kecil.

Lagipula aku seorang perempuan. Menurut kata orang, perempuan tidak harus bekerja menjadi jabatan tinggi. Bekerja sebagai kasir di mol besar sepertiku itu sudah cukup. Berbeda dengan lelaki, tidak diharuskan memang bekerja dengan jabatan tinggi, hanya saja seorang lelaki itu raja dalam rumah tangga. Jika ia tidak mencari penghasilan lebih, lalu mau bagaimana kehidupannya-lebih tepatnya:kehidupan rumah tangganya?

Seusai acara makan besar alias syukuran ini, banyak para undanga berhamburan menyalami ku. Sesekali meminta foto bersama. Kadang pula, banyak para undangan memberiku kenangan-kenangan dari mereka, katanya sekedar untuk berbagi kabar kebahagiaan. Mereka sahabat yang sudah aku anggap sebagai keluarga dekat. Kalau aku kesusahan, syukur masih ada yang mendengar keluh kesah ku ini. Kalau aku sedang dilanda kebahagiaan, syukur aku juga bisa saling berbagi dengan mereka.

Walaupun segala perilaku yang mereka tampilkan kepadaku memang tidak selamanya baik-positif. Mereka memang kebanyakan sudah menikah, memiliki anak di usia sepertiku. Hanya aku, Rena, dan Diandra yang masih sendiri. Menurut kami bertiga menikah itu tidak harus dijadikan prioritas. Kalau sudah mantap hati satu sama lain, yasudah dimantapkan lebih dahulu, baru masuk kejenjang pernikahan.

Memang menikah segampang itu? sekali kenalan, dekat, berhubungan lalu menikah? Bagi kami menikah itu sama seperti berjalan, dari kutub utara menuju kutub selatan, butuh perjuangan bukan? Perjuangan saling memantapkan hati, perjuangan percaya satu sama lain, dan perjuangan saling mempertahankan. Itu tidak segampang apa yang orang lain kata. Mitos jadinya kalau menikah segampang itu.

"Vira..." aku menoleh kearah sumber suara. Saat sedang asyik berfoto ria dengan keenam sahabat karib sejak semasa SMA, buyar sejenak karena suara melengking menyebut namaku.

Dia Tiara, teman semasa kuliah ku yang kerjaannya melayani senior genit kepadanya. Badannya langsing, rambutnya tergerai hitam mencolok, apalagi kulitnya yang mulus, menambah kesan kecantikannya.

Aku tersenyum melihat dia tergopoh berjalan, karena high heels miliknya. "Hai, Ra. pelan-pelan saja," ucapku pelan, sambil terus memperhatikannya.

Dia segera memelukku saat sudah berada didepanku. Dia ternyata masih sama. Sama-sama masih manja.

"Aku kangen kamu." Aku memeluknya erat. "Maaf ya telat. Tau sendirilah kalau malam musim kencan begini ramenya jalanan gimana." Aku hanya merespon mengangguk, sesekali mengusap punggung yang terbalut kain kaos tipis.

"Tidak masalah. Belum selesai juga kok acaranya," ungkapku antusias.

Kami sekarang sudah melepaskan pelukan, masih saling menatap karena rindu yang sudah lama tidak berjumpa. Jujur, memberikan kabar undangan kepada Tiara membutuhkan pengorbanan serius. Aku harus mengaduk-ngaduk isi handphone lamaku yang jarang aku sentuh. Selesai menghubunginya, ternyata nomor yang aku hubungi sedang dipegang kekasihnya-lebih tepatnya:calon suami Tiara. Untung saja, kekasihnya menyampaikan pesan untuk Tiara cepat.

"Vir, kamu udah punya gandengan belum? Kok gak kabarin aku?"

Pertanyaan 'udah punya gandengan belum' itu adalam pertanyaan mematikan bagiku. Kalau sudah menyangkut tentang pasangan, arah pembicaraan selanjutnya akan berujung: 'kamu itu makin hari makin tambah usia. Apa kamu mau disebut perawan tua?' bukannya aku suka dengan keadaan ku, jujur aku juga sudah bosan dengan keadaan seperti ini. Belum lagi keadaan didesak, terpojok, atau keadaan dimana capek melihat semua teman ku satu-persatu hilang karena sibuk mengurusi soal keluarganya. Bukan aku tidak tertarik memiliki lelaki, hanya saja aku sudah bilang kan, kalau memang belum ada calon berarti Tuhan sedang mempersiapkan keindahan yang luar biasa.

Pernah dulu aku mengantarkan mama ku arisan kantor Ayahku. Bukannya membahas soal pekerjaan, masakan, atau kegiatan dirumah, ini justru malah sibuk mencari kriteria lelaki yang diminta mama ku. Alasannya karena ia ingin melihatku bahagia. Memang sebegitu sekaratnya aku kalau tidak memiliki pasangan? Aku ini waras, lagian ini hidupku, yang menjalanin hidup tanpa pasangan juga aku sendiri, bukan orang lain.

"Iya, mbak. Anak saya ini perempuan asli jawa, dia lembut banget, gak pernah kasar kesiapapun. Tapi emang susah kalau disuruh bergaul sama laki-laki. Jadi sampai sekarang masih perawan suci."

Kalau sudah keluar kalimat seperti itu. Jadi berasa produk iklan saja.

"Lho anak e sampean iku pancen ayu temenan yo mbak. Tapi kok gak duwe pasangan, opo gak bosen, mbak?"

Mama ku kali itu hanya meringis. "Dikata bosan ya bosan mbak. Itu anak ku yang awal. Adiknya saja diusia 23 tahun sudah menikah, dengan lelaki matang pula. Ini kakaknya memang susah ditebak," katanya lalu kembali tertawa bersama teman arisannya.

Aku yang duduk berseberangan dengan mama beserta teman-teman ngobrolnya hanya diam. Berusaha memberi respon seperti tidak tau-menahu. Niat awalku hanya mengantar lalu menunggu mama sambil memainkan ipad di mobil. Tapi justru terjebak dilingkup ibu-ibu seperti ini. menyebalkan bukan?

Kata-kata itu sekarang sudah angin bagiku. Setiap satu bulan sekali selalu mendengarkan kata seperti itu. jika sekarang kembali diulang, aku tidak akan mual, justru sudah terbiasa.

"Ra, Rama itu udah ganteng, mantap, udah gitu tegas lagi. Kalau Andre dia juga udah CEO kan, kenapa ditolak semua sih?"

Aku menggeleng. Siapa yang tidak malas ketika sudah serius menuju arah yang jauh, justru sedang dihadang dengan banyak lelaki seperti ini. bayangkan, bisa seminggu mama ku mendesak 3 lelaki untuk menjadi teman kencan ku. Aku bisa apa? yasudah aku ajak saja dia keluar berdua, sampai di kafe tempat biasa kumpul dengan sahabat, aku lepas dia, tidak lupa mengucapkan terimakasih juga minta maaf agar dia tidak menganggu ku.

Aku sadis? Memang! siapa yang tidak lelah, jika selalu saja diberikan sebuah pilihan. Dan.. itu tidak segampang memilih A-B-C-D-E di soal ulangan mu.

"Cepatlah menikah, Ra. Masa subur mu itu malah matang di keadaan mu seperti ini. Tidak usah banyak menunggu, masalah uang kendalikan saja dengan suami mu. Lelaki siapa yang tidak mau dengan mu? Lihat sudah berapa kali lelaki itu menunggumu. Saking banyaknya kamu tidak tau siapa saja."

Aku jengah membahas tentang lelaki seperti ini.

Menikah tidak harus menjadi dunia yang membahagiakan. Bersama seseorang yang membuat mu tersenyum setiap bertemu, bukankah sudah berasa menempuh dunia yang berbeda. Sekarang, bukan aku merasa 'Hi... I'm not perfect for you to select in your hearts' aku bukan merasa tidak sempurna. Sungguh aku merasa puas dengan keadaan ku seperti ini. Aku memilih keadaan ini karena aku percaya true love will come without you forcibly.

Aku memaksa agar aku nyaman? Ya aku memaksa agar hatiku kuat dengan keadaan seperti ini. Aku tersiksa? Tidak juga, hanya saja merasa aku masih bebas... belum terikat dengan keadaan yang nantinya membuat ku akan tidak bisa seperti ini.

"Kebahagiaan sesungguhnya akan kamu rasakan saat kamu merasakan bisa terikat dengan lelaki yang sesungguhnya. Dia suamimu, sahabat yang akan menemani mu sampai akhir hayat." Aku tetap tidak bergeming, memperhatikan gerakan bibir Tiara yang terus bergerak. Dia memang belum menikah, namun dia berbeda. Memiliki kekasih seperti Dio-kekasih Dea-membuatnya tau, kebahagiaan ada diantara mereka. "Kamu perlu bahagia, Ra. bersama seorang yang kamu pilih."

"Doakan aku segera seperti mu. Memiliki kebahagiaan sepenuhnya."

Tiara tersenyum, kembali memelukku.

***

HAI, HAPPY READING!

PART DUA BAKAL DIUPDATE DI AKUN Millchuzzy :)

PART TIGA BARU DI AKU, DAN PART EMPAT DI AKUN Millchuzzy KEMBALI :)


BIRDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang