Pelarian-Chapter 1

10.9K 186 2
                                    


Bintang-bintang di langit mulai memudar. Langit malam yang hitam mulai digantikan oleh langit pagi yang biru cerah. Matahari yang bersembunyi di balik gunung yang berkabut putih tebal mulai menampakkan wajahnya yang cerah. Sekelompok awan putih mengintip malu-malu dari balik gunung yang tinggi menjulang langit. Langit timur pun mulai memerah pertanda malam mulai berganti pagi. Titik-titik air di permukaan daun tampak berkilauan seperti permata. Pohon-pohon di halaman Istana Urza meneteskan embunnya yang bersinar keemasan tertimpa sinar matahari. Di kejauhan terdengar suara serangga bersahut-sahutan. Perlahan-lahan suara serangga itu menghilang seiring dengan langit yang semakin terang.

Suasana di Istana masih sunyi senyap. Hanya suara kicau burung yang terdengar. Penghuni Istana seakan-akan masih terlelap dalam dunia mimpi mereka. Penjaga pintu gerbang berdiri sambil terkantuk-kantuk. Sesekali kepala mereka mengangguk-angguk. Ketika sinar matahari mulai menerangi bumi, mereka terbangun dan menantikan penjaga lainnya yang akan mengambil alih tugas mereka.

Matahari semakin menampakkan wajahnya dan dengan sinarnya yang terang, ia menyinari seluruh dunia. Bersamaan dengan itu kegiatan manusia pun dimulailah. Demikian pula kegiatan harian di Istana. Pelayan-pelayan mulai berlalu lalang dan saling mengucapkan selamat pagi. Namun suasana di Istana masih belum ramai. Semua orang seakan-akan menjaga kesunyian pagi itu. Satu-satunya yang ramai di Istana Urza adalah burung-burung yang terbang di sekitar Istana sambil menyanyikan lagu mereka dengan penuh suka cita.

Udara yang dingin terus merambati bumi.

Dalam keheningan yang menyelimuti Istana Urza itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan seseorang. Jeritan itu membuat semua orang terkejut dan mereka lebih terkejut ketika melihat seorang wanita tua berlari di sepanjang koridor menuju Ruang Duduk.

Wanita itu terus berlari sambil berteriak-teriak, "Paduka Raja! Gawat, Paduka!" Wanita itu demikian tergesa hingga hampir semua orang ditabraknya. Tetapi ia terus berlari sekencang-kencangnya.

Ketika ia tiba di Ruang Duduk, seorang prajurit bertanya, "Apa yang terjadi, Maryam. Mengapa engkau berlari-lari seperti orang dikejar setan?"

"Gawat, aku harus bertemu Paduka saat ini juga," kata Maryam menghiraukan pertanyaan itu.

"Sebenarnya apa yang telah terjadi, Maryam. Mengapa engkau tergesa-gesa seperti itu? Paduka baru saja tiba di sini dan engkau hendak menganggunya," kata prajurit itu.

Sekali lagi wanita itu mengacuhkan pertanyaan pria itu. "Aku harus bertemu Paduka Raja saat ini juga! Ini masalah yang sangat gawat."

"Apakah terjadi sesuatu pada Puteri?"

"Menepilah dan biarkan aku menemui Paduka saat ini juga," kata Maryam bersikeras.

Tiba-tiba pintu Ruang Duduk terbuka dan seorang pria yang telah tua namun raut wajahnya menunjukkan wibawa, muncul. Pria itu berdiri di ambang pintu sambil menatap kesal kepada kedua orang yang sedang berdebat itu.

"Mengapa kalian pagi-pagi seperti ini telah bertengkar sampai suara ribut kalian mengangguku?"

"Maafkan kami, Paduka. Maryam mengatakan ia ingin bertemu Anda karena suatu urusan yang sangat gawat," lapor prajurit itu.

"Masalah apa, Maryam?" tanya Raja Phyllips.

"Masalah yang sangat gawat, Paduka," kata Maryam berhati-hati, "Putri Alviorita menghilang."

"APA!!!?" pekik Raja.

Mendengar seruan terkejut Raja itu, Maryam semakin berhati-hati dalam mengucapkan kata-katanya. "Saya tidak menemukan Tuan Puteri di kamarnya."

"Apakah engkau telah mencarinya di halaman Istana?" sela Raja.

"Saya telah mencarinya ke seluruh penjuru Istana ini, Paduka. Tetapi saya tetap tidak dapat menemukan Tuan Puteri. Saya hanya menemukan secarik kertas ini tergeletak di meja belajar Tuan Puteri," kata Maryam sambil menyerahkan surat yang sejak tadi dibawanya kepada Raja Phyllips.

PelarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang