***

“Kau benar-benar datang kemari?” tanyaku ketika melihat Rey yang sedang duduk dibangku taman.

“Tentu saja.” Jawab Rey.

Aku duduk disampingnya sambil menatap langit. “Aku kira kemarin kau hanya berbohong.”

“Mana mungkin aku berbohong. Aku ini adalah orang yang akan selalu berusaa menepati janjiku.” Katanya bangga.

“Baiklah, aku percaya.” Kataku sambil menatapnya.

“Bagus deh kalau gitu.”

“Kau tau? Sejak kemarin hidupku jadi terasa menyenangkan.” Ujarku. Kembali kutatap langit yang dipenuhi bintang. “Itu semua karena kau.” Sambungku.

“Apa saat ini kau sedang menyatakan perasaanmu?” tanya Rey. Aku tersentak kaget. Kutatap wajahnya dengan wajah yang memerah.

“A-apa k-k-kau b-bilang?” tanyaku tergagap.

“Kenapa kau jadi bingung? Aku kan hanya bercanda. Atau jangan-jangan kau memang menyukaiku? Hahaha. Sepertinya aku ini memang tapan ya?” katanya dengan rasa percaya diri tinggi.

“Ih, dasar! Kau itu terlalu percaya diri.” Aku mencoba membela diri. “Aku cuma mau bilang kalau aku…” Aku bingung harus mengatakan apa pada Rey hingga membuat kalimatku terputus. Rey menatapku dengan pandangan menyelidik. “Aku cuma mau blang kalau aku seneng dapet temen baru kaya’ kamu. Karena itu aku mau kamu jadi temenku.” Beruntung aku bisa menemukan alasan yang tepat hingga tidak membuat Rey makin curiga.

“Ow… begitu. Baiklah. Ayo kita berteman.” Aku tersentak kaget mendengar jawaban Rey. Tak kusangka ia akan meng-iyakannya. Padahal yang tadi itu cuma alasan. Tapi tak apalah, yang penting aku masih bisa bertemu Rey tanpa rasa canggung.

***

Hari-hari kulalui dengan penuh canda tawa. Hidupku yang dulu hampa kini telah menjadi lebih berwarna. Suasana rumah sakit yang dulu terasa sepi bagiku, sekarang telah menjadi terasa ramai. Itu semua terjadi setelah kedatangan Rey yang selalu menemaniku.

***

1 minggu kemudian…

Aku berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang sepi. Tanpa terasa, aku berjalan sampai di taman rumah sakit. Kulihat Rey sedang duduk dibangku taman. Perlahan-lahan, kulangkahkan kaki untuk menghampirinya, berharap agar aku bisa membuat Rey kaget.

“Woi!” teriakku dari arah belakang sambil menepuk bahu Rey. Namun, tak seperti biasanya. Rey tidak terkejut sama sekali. Padahal biasanya dia akan kaget. Tapi kali ini berbeda. Wajahnya yang biasanya ceria sekarang jadi murung. Aku jadi heran melihatnya.

“Ada apa denganmu? Kok tumben murung?” tanyaku setelah duduk disampingnya. Kini dia menoleh kearahku dengan raut wajah sedihnya. “Ada apa denganmu?” tanyaku semakin bingung.

Rey menghela nafas. Sekarang dia menatapku serius. “Besok aku akan pergi meninggalkan rumah sakit ini.” Jawabnya.

“K-kenapa?” tanyaku terbata-bata. Namun Rey hanya terdiam. Aku tidak ingin Rey pergi. Jika dia pergi, lalu siapa yang akan menemaniku? Pasti aku akan kesepian seperti dulu. ”Apa kau sudah sembuh dan diijinkan pulang?” tanyaku lagi. Rey tetap tidak menjawab. “Baiklah. Kalau kau pergi aku nggak akan marah. Tapi kau harus sering-sering menjengukku. Kau mau berjanji kan?”

“ Maaf. Tapi aku tak bisa berjanji lagi padamu.” Sesal Rey tanpa memikirkannya terlebih dahulu.

“Kenapa? Kenapa kau tidak bisa berjanji padaku?” tanyaku lagi. Rey kembali terdiam. Kepalanya yang tertunduk seakan menyembunyikan wajah sedihnya. Tiba-tiba ia bangkit lalu meninggalkanku. Kcoba untuk menahannya dengan menarik tangannya, namun dia melawan dan mempercepat langkahnya meninggalkanku.

GoodbyeWhere stories live. Discover now