NAGA DI TANAH JATAYU

Începe de la început
                                    

 "Hyang Bhumi, kumohon, berilah sedikit  perlindungamu" ucapku memelas.

Terkonsentrasi pada merapal mantra, tanpa kusadari, tersamarkan kabut tebal -saat ini memang bulan Kadestha, bulan kesebelas dalam satu Saka pada penanggalan kami, Naga dan Jatayu, saatnya Girikliyang mengalami musim sejuk kabut, tidak seperti tempat tinggalku di Sarpaloka, yang selalu berkabut sepanjang Saka-, di bawah temaram cahaya Hyang Soma, sepasang mata dari sesosok Jatayu terus mengawasiku dalam kebisuannya yang berbalut kesunyian malam, dari balik rimbunnya percabangan pohon ini.

Dan tiba-tiba, wush... ia menapak dengan ringan pada rerumputan di hadapanku. Matanya tajam merah menyala dan sayap-merahnya melingkar kokoh menutupi sekujur tubuhnya, pergelangan tangannya berhiaskan gelang emas berukirkan tanda kebesaran Jatayu, menandakan ia bukan Jatayu biasa. Ia seorang Garuda, kasta tertinggi dalam bangsa Jatayu, kaum bangsawan. Kasta yang secara turun temurun akan menjadi pemimpin dari tiga kasta Jatayu lainnya -Aruna, Sempati dan Jatayu Alit.

 Demi melihat kehadiranya, ditambah gelang yang digunakannya sama dengan Garuda yang menangkapku, aku langsung siaga, siap merapal Ajian Tameng Bhumi, lupa jika tanah yang kupijak menolakku.

"Tenanglah Naga muda, aku tak berniat jahat padamu. Bisa saja kau kubunuh, tanpa perlu menampakkan diri dan mendekatimu, bukan?", ujarnya sambil tersenyum.

Kata-katanya benar juga. Jika ia berniat jahat, tentunya dengan mudah ia dapat membunuhku, cukup dengan Ajian Bayusayakha.

"Aku hanya ingin membantumu ke Dwarapratala. Aku tak ingin lagi melihat darah Naga membasahi Girikliyang" ucapnya meyakinkanku sembari berjalan menghampiriku.

"Boleh kulihat lukamu? Dan siapa namamu Naga muda?" tanyanya untuk mencairkan suasana.

"A... Ananta...saka" jawabku.

"Ananta? Hmm... Kau pasti bukan Naga biasa, karena gelar tersebut hanya diberikan pada keluarga utama bangsa Naga. Siapa engkau sesungguhnya?" tanyanya.

Haruskah aku berkata jujur pada Jatayu ini, ataukah aku sembunyikan saja identitasku. Akh.. baiklah, akan ku ceritakan siapa aku sebenarnya. Jika ia benar-benar berniat menolongku, setidaknya ia mengetahui bahwa pertolongannya akan disambut segenap bangsaku. Dan jika memang ia berniat membunuhku atau menangkapku, setidaknya ia mengetahui bahwa perbuatannya akan menyulut pembalasan seluruh bangsaku.

"Aku putra sang Anantareja, pemimpi kaum Naga Akasha" ujarku percaya diri.

"Keponakan sang Anantasena dan sang Anantasura, pemimpin kaum Naga Samodra dan Naga Bhumi, serta cucu sang Anantaboga, leluhur bangsa Naga" lanjutku, berharap nama-nama tersebut akan membuatnya berpikir seribu kali lagi jika hendak menyakitiku.

"Ah... ternyata seorang Nagasutha, calon pemimpin kaum Naga".

"Untunglah para pengejarmu tidak mengetahui identitasmu. Jika mereka tahu, aku yakin mereka akan menggunakanmu sebagai umpan, agar seluruh keluargamu keluar dari Sarpaloka, dan mengulangi pembantaian bangsa Naga"

"Dan.. untuk apakah seorang Naga muda sepertimu berada di permukaan Girikliyang?" tanyanya.

"Apakah kaummu tidak pernah menceritakan permusuhan antar bangsa kita, heh..?".

"Aku mencari daun dan buah Dewandaru untuk ayahku".

"Hmm, apakah ayahmu terluka?"

"Iya, benar"

"Ia terluka sejak lima belas saka yang lalu, saat kalian membantai dan mengusir bangsaku". Ia mendengarkan ceritaku sambil memeriksa luka-lukaku.

NAGA DI TANAH JATAYUUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum