"Aku percaya tetapi maaf, aku tidak menyangka saja. Kenapa Melvin tidak kejang-kejang?"

"Kalau dibiarkan sebentar lagi, Melvin bakal kejang-kejang dan aku tidak mau kau melihatnya sedang memalukan seperti itu," jelas Kelvin panjang lebar. Woahh, ternyata Kelvin perhatian juga. Dibalik muka datarnya ternyata dia menyimpan hati yang baik.

Aku pun hanya mengangguk-anggukan kepalaku persis seperti orang bodoh. Aku juga masih tak menyangka orang setampan Melvin ternyata punya penyakit epilepsi?! Oh my God, bagaimana kalau sewaktu-waktu dia kambuh saat sedang berada dikampus? Itu pasti memalukan sekali. Aku jadi merasa kasihan dengan Melvin. Pria setampan itu mempunyai penyakit yang memalukan.

Poor Melvin..

"Ayo masuk, sudah selesai." ucap Kelvin kemudian sambil menarik tanganku menuju pintu mobil. Dengan sekali dorongan darinya, aku kembali masuk ke dalam mobil mewah ini. Huh, dia kasar sekali!

"Hai Flo!!"

Aku terkejut karena baru saja duduk, aku dikagetkan oleh Melvin yang menyapaku semangat di jok belakang. Dia duduk tepat berada dibelakangku dengan kedua tangannya bertumpu dengan jok pembatas antar kami.

Melvin sekarang sudah seperti Melvin yang biasanya. Ramah dengan tingkahnya yang lucu itu. Berbeda 180 derajat dari Melvin yang sakit. Sekarang tidak ada lagi keringat yang keluar dari dahinya dan wajahnya tidak sepucat tadi.

"Melvin, jangan ganggu dia." kata Kelvin singkat sembari menutup pintu. Aku lihat Melvin mengerutkan dahinya kesal dan kembali merebahkan tubuhnya di jok mobil belakang. Dia sepertinya agak segan dengan ancaman Kelvin barusan. Hemm....

Aku melihat ke depan, Deira dan Tuan Sean itu masih mengobrol seperti biasa. Sekarang Deira bercerita tentang pria yang bernama Bray. Mungkin dia sedang membicarakan pacarnya kali ya. Aku juga tidak tahu. Sedangkan Kelvin masih seperti semula, melihat ke arah jalanan yang...

TUNGGU!

Itu pohon-pohon besar! Astaga, apa kami sudah memasuki hutan yang menyeramkan itu? Demi Tuhan, dimana ini? Aku bahkan tidak tahu kalau hutan ini begitu gelap dan tidak ada lampu penerangan satu pun! Bahkan langit senja pun tertutupi oleh dahan-dahan pohon besar itu. Dimana aku? Joshua, tolong!! Kakak-mu ingin diculik keluarga kaya!!

"Flo, tenang saja. Kami tidak akan membawaku ke tempat-tempat aneh kok,"

Tiba-tiba Tuan Sean itu berbicara dengan suara super bassnya itu. Mungkin sangat terlihat jelas dari mimik wajahku kalau aku sedang ketakutan begini.

"Maaf, Sir. Saya hanya bingung, kenapa kita masuk ke dalam hutan ini?" tanyaku sopan. Kelvin kembali menolehkan kepalanya ke arahku. Dia menatapku intens tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir penuhnya itu.

Tuan Sean itu tertawa pelan mendengar pertanyaanku. Kenapa? Apa aku salah bertanya seperti itu?

"Jangan formal begitu, Flo. Panggil  Papa saja. Jangan sir," kata Tuan Sean itu seraya tersenyum tulus padaku.

Papa.....

Sudah lama sekali kata itu tak keluar dari mulutku. Entah kenapa rasa hangat langsung menjalar di tubuhku. Papa..

"Papa.." kataku tak percaya. Aku hampir saja meneteskan air mataku jika Kelvin tidak mengusap pipiku.

"Kau kenapa?"

Aku menggeleng pelan, "Maaf, aku sedikit sentimental," ucapku merasa bersalah. Kelvin pun menganggukkan kepalanya lalu mengenggam kembali tanganku.

"Hmm, jadi mulai sekarang panggil Papa saja. Oke, dan nanti jika kamu sudah bertemu istriku, panggil dia Mama juga. Sekarang anggap kami adalah orang tuamu, Flo."

Kalimat yang diucapkan oleh pria tampan nan gagah itu mampu membuatku tersenyum senang.

Sekian lama aku tidak merasakan kasih orang tua akhirnya sekarang aku bisa memanggil sepasang suami istri itu dengan sebutan..

Papa Mama....

Thanks God.

***

Sekitar dua kilometer perjalanan di tengah-tengah hutan belantara ini, akhirnya aku bisa melihat cahaya lampu-lampu berwarna putih dari kejauhan. Aku belum bisa melihatnya dengan jelas soalnya masih tertutupi oleh beberapa batang pohon besar itu.

Entah sejak kapan, kepala Kelvin sudah bersender di bahuku. Dia tertidur. Sama hal dengan Deira dan Melvin di belakang. Sedangkan Papa Sean masih menyetir dengan kecepatan rata-rata. Anehnya, aku masih merasa janggal kalau memanggil pria kaya raya itu dengan sebutan Papa. Walaupun tak dipungkiri aku juga merasa senang.

Cahaya lampu-lampu berwarna putih itu semakin menyilaukan mata. Aku pun penasaran untuk melihat ke luar. Dan ternyata..

Woaaaahhh!!

Rumah siapa itu? Alangkah besar dan mewahnya! Aku yakin ada beberapa lantai di dalam rumah itu. Halaman di depan rumahnya pun tak kalah luas. Walaupun langit sudah gelap, aku masih bisa melihat taman bunga yang indah ada di samping rumah mewah itu.

Siapapun tak menyangka kalau di dalam hutan lebat ini ada rumah sebegitu mewahnya!

"Ya, kita sudah sampai.." ucap Papa Sean seiring terbuka pagar raksasa yang terbuat dari besi itu dari dalam. Beberapa penjaga rumah yang kusebut dengan satpam itu membukakan pagar.

Astaga, jadi ini rumah keluarga Franklin!? Tidak salah lagi, mereka benar-benar kaya asli! Tidak bohongan!!! Pantas saja semua gadis yang materialistis dikampus berebutan untuk menjadi pacar Kelvin ataupun Melvin.

Mobil yang kutumpangi terus menyusuri halaman rumah yang sangat luas itu. Aku masih tidak percaya kalau ada rumah semegah ini di hutan yang menyeramkan itu. Ck ck ck.

"Enghh, apa kita sudah sampai?" tanya Melvin dengan suara serak sehabis bangun tidur. Dia perlahan bangun dari posisi tidurnya diikuti dengan gerakan kepala Kelvin di pundakku. Dia mengangkat kepalanya lalu mengucek matanya yang memerah sehabis bangun tidur.

Sedangkan Melvin, dia menopang kepalanya di jok tempat dudukku. Persis di bawah telingaku, bahkan aku bisa merasakan hembusan nafas hangat Melvin disini.

"Tumben banget, biasanya Papa bawa mobil ngebut-ngebut gak karuan biar cepet sampe ke rumah. Ini malah super slow. Aneh banget," gerutu Melvin. Dia memakai bahasa asing lagi. Aku tidak tahu apa yang barusan dia katakan kecuali kata super slow tadi.

"Berisik kamu, Melvin." balas Papa Sean sama halnya dengan Melvin, dia juga memakai bahasa yang tak ku mengerti.

Akhirnya mesin mobil pun berhenti saat sudah terparkir di garasi bawah rumah mewah yang berwarna putih bersih ini. Garasi ini juga luas, bisa menampung ehm... Satu dua tiga empat mobil. Dan aku pernah melihat mobil sport merah ber-plat nomor 94 itu, mobil yang sering dibawa Melvin ke kampus.

Papa Sean dan Deira turun bersamaan, sedangkan Kelvin duluan turun tanpa mengajakku lagi. Dia pergi begitu saja sambil memakai ransel hitam bertuliskan WOLF 88 itu. Hemmm...

"Flo, kau tak mau turun? Ayo," Walaupun tinggi badannya itu tak menghalangi dia untuk melompat, dengan sigap Melvin melangkah dari jok belakang ke depan. Dia segera mengajakku keluar dari mobil itu menuju pintu depan rumahnya.

Tetapi aku kembali terlonjak kaget karena Kelvin sudah bersender di depan pagar garasi sambil menatapku dan Melvin dengan tatapan tajamnya. Dia menyeramkan..

"Apa?" tanya Melvin sembari mengeratkan pegangan tangannya di tanganku.

"Lepaskan dia," ucap Kelvin datar.

Melvin seakan tak peduli, dia terus saja menarik tanganku sampai kami melewati Kelvin. Saat itu juga, tangan Melvin terlepas paksa karena lenganku ditarik kuat oleh Kelvin yang berada di belakangku. Bahkan sekarang punggungku terbentur dengan dada bidang Kelvin.

"Makanya jangan tinggalkan dia kalau tak mau direbut oleh pria lain, Kelv! Dasar sok keren kau," rengut Melvin meninggalkan kami berdua saja di depan pintu garasi. Kelvin menghembuskan nafas beratnya. Setelah itu dia yang membawaku berjalan ke arah pintu utama rumah megah ini.

"Menyebalkan kalau melihat pria lain menggandeng tanganmu seperti ini,"

What? Apa yang dia bilang barusan!?!

Tbc

DAMN!? my mate is a NERD!! (KELVIN D. FRANKLIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang