Crap.

"Lintang, aku udah tahu kamu sejak tahun lalu," aku menggigit bibir bawah, cemas. "Aku lihat kamu pas lagi sama Jo. Mulai saat itu aku penasaran dan nge-stalk semua akun medsosmu dan ugh, kamu nggak tahu seberapa seneng pas aku bisa masuk SMA ini dan sekelas dan sebangku sama kamu."

Lintang masih terdiam.

"Uhh, oke... itu rada creepy emang, sori," bibirku mulai berdarah rasanya, tapi perih yang lebih dulu muncul malah berasal dari dada. "Tapi beneran, Lintang, aku serius suka―"

"Bahkan setelah ini?" Lintang mendengus geli, membuang muka ke samping. "Aku nggak kayak kelihatannya, Ka. Lihat kan barusan? Aku ngalahin enam cowok bongsor macem mereka. Aku monster. Sementara yang kamu suka itu Lintang si cowok pendek berisik pecicilan blahblahblah."

Aku mengeratkan pelukan dan mengeraskan rahang mendengar pengakuannya.

Lalu menarik nafas panjang, bersuara.

"Lintang Purnama, lahir 13 Januari 1999, golongan darah O rhesus negatif, tinggi 153 cm, berat 41 kilo, kelas akselerasi dari SD dan SMP, suka sama senja, warna favorit kuning hitam dan merah, nggak terlalu aktif di medsos, punya kepribadian ganda, labil, nggak ada saudara kandung, orangtua lengkap, ayahnya ketua bos preman tanah abang plus tangan kanan organisasi pasar gelap, ibunya direktur utama perusahaan industri tekstil di luar negeri, nggak suka makanan pedas dan maniak jajanan manis terutama Chupa Chups rasa kola, nggak pernah pacaran, jago olahraga, nilai akademik di atas rata-rata, rada introvert sebenarnya dan kalau kamu mau aku bisa bikin satu novel cuma tentang kamu."

Fuwah, capek juga. Aku menyandarkan kepala di bahu Lintang sementara anak itu masih diam. Nggak tahu kenapa. Jangan-jangan ada informasi yang aku tahu udah diluar batas kewajaran?

"―daaan aku baru tahu kamu bisa berantem," kutempelkan pipi di bahunya, berusaha mengintip ekspresi Lintang tapi nggak bisa. "Dan bahkan setelah itu semua, kamu bukan monster. Kamu tetep Lintang Purnama. Oh ya, kamu tahu nggak kalo aku suka sama bulan purnama gara-gara namamu juga? Konyol banget kan, hahah."

Lintang menoleh, membuatku menahan nafas karena jarak wajah kami hampir nggak ada. Tapi aku beneran kaget pas lihat mata anak itu membesar dan berkaca-kaca.

"Whoah!" aku buru-buru melepaskannya, memutar bahu Lintang sehingga kami saling menghadap. Kakinya tertekuk dan dia berusaha menutup muka cepat-cepat. "Whoa, hei, sori banget kalau itu berlebihan," aku sendiri masih panik aja.

Lintang menggeleng, sedikit sesegukan.

Jantungku berdenyut nyeri sekarang.

"Lintang," aku mengangkat wajahnya, berbisik. "Lintang."

Dan menutup jarak.

Bibir Lintang masih sama―lembut, manis, hangat. Familiar. Dia tersendat, mengerjap, merintih pelan kala lidahku menyapu bibir bawahnya. Tanpa perlawanan, mulut mungilnya membuka. Begitu mendapat akses, aku memperdalam ciuman, dan baru berhenti ketika kami sama-sama kehabisan udara.

Kukecup sayang dua kelopak Lintang yang menutup sayu, menghapus perlahan jejak air di pipi dengan ibu jari. Dia menggigil ketika lidahku refleks keluar untuk menjilat luka di pelipis, mencengkram tanganku, menarik diri lagi.

"Jadi―" Lintang mengambil nafas dan, astagaaa, siapa sih yang tahan melihat mukanya yang memerah sempurna?? "―selama ini... ?"

Aku sendiri masih speechless, hanya bisa mengangguk.

Lintang menggigiti bibir bawah, berbalik memunggungiku lagi. Tapi sebelum dia beranjak lebih jauh, aku sudah melingkarkan lengan ke pinggangnya, mengunci.

not yet end [in ed.]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن