not yet end

Mulai dari awal
                                        

Kami bersitatap, dan dia kaget luar biasa.

Sedangkan aku cuma mengerjap.

"... Kaka," gumam Lintang, masih berusaha memproses apa yang dia lihat kayaknya.

"Lintang!" aku balas menyapa ceria.

Dia masih diem aja, kayak nggak yakin mau ngapain. Aku noleh ke belakang bahunya, melihat lebih jelas gimana babak belurnya para korban setelah melangkah mendekat, dan merasakan Lintang berjengit saat aku cuma berjarak dua puluh sentian di depan dia.

"... kamu lihat semuanya?" desis Lintang, masih nunduk.

Aku mengangguk. Dua detik setelah sadar anak itu nggak lihat, aku menghela nafas.

"Yap."

Lintang mendecak. Dia tertawa miris, nggak tau kenapa.

"Kalau gitu mungkin habis ini kamu bakal ngejauh?―yang kayaknya sih iya. Well, aku nggak peduli."

Aku mengernyit. Hell, ngapain juga aku ngejauh? Setelah susah payah masuk SMA ini? Najis tralala. Sori ya.

"Nggak lah, ngapain juga," aku mendengus, lalu rada membungkuk untuk mengecek wajahnya. Brengsek beneran si Danu kalo dia bikin wajah imut Lintang sampai luka parah. Bakal kuracuni makanannya kapan-kapan pake obat pencahar. Biar mampus anak itu di toilet, gahahah!

Aku menangkup kedua pipi Lintang yang hangat, berusaha melihat matanya.

Dia berjengit.

"Sakit?" tanyaku.

Nggak ada angin nggak ada hujan, Lintang meninju perutku, keras, membuatku mengeluarkan hampir semua udara di paru-paru dan jatuh berlutut. Edyan tenan bocah itu!

"Nggak usah sok baik lagi deh," Lintang menukas gusar, menginjak bahuku dengan kaki kanan. "Udah cukup seminggu ini nempel sama aku biar gak diganggu Danu. Lihat kan? Anak itu udah aku bilangin biar gak macem-macem lagi sama kamu."

Aku terperangah.

"Jadi mending kamu pulang dan nggak perlu sok akrab lagi besok di sekolah," volume suara Lintang menurun, dan dengan tatapan dingin, memberi tekanan yang cukup besar di bahu sampai bikin aku meringis, sebelum menarik diri dan beranjak pergi.

Aku menyentak tangannya keras, membuat dia kaget dan jatuh terduduk di pangkuan. Kulingkarkan lengan ke pinggangnya sambil terus menggenggam tangan anak itu, membuat dia nggak bisa bergerak.

Astaga, punggungnya kecil banget! Dan rambutnya, dan aromanya―ugh, Ka, jangan sekarang!

"Kayaknya kamu salah paham," aku berbisik di dekat telinga, membuat tubuh Lintang mendadak kaku. "Kata siapa aku nempel kamu cuma buat ngehindar dari Danu?"

"Ngh―" Lintang setengah mengerang saat aku bernafas di lehernya. Dia berusaha menggeliat keluar, tapi yah, teruslah mencoba.

"Dan walau kayaknya waktunya nggak tepat, tapi biar kamu nggak terus salah paham, aku mau ngomong sesuatu," aku menghela nafas, lalu menghirup lagi lebih dalam. "Uh. Lintang! Aku suka kamu!"

Dan Lintang beneran diem, kaku, kayak patung.

Uwaah. Wajahku membara. Dadaku berdebar liar. Dia bahkan nggak lihat ke arahku dan aku cuma bisa lihat belakang kepalanya, tapi astagaaku lagi meluk dia! Jemari kami bertautan dan kakinya yang ramping dan kecil ada di antara kakiku yang lebih panjang, panas dari tubuhnya menguar―

―sadar Ka, jangan pingsan duluan. Itu nggak lucu. Fokus!

"... suka?" Lintang bersuara, pelan. "Kaka, in case kamu lupa, kita baru ketemu seminggu yang lalu."

not yet end [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang