Aku terkekeh mendengar nada sinisnya. Setelah memastikan nggak ada anak yang noleh ke arah kami, aku mengangkat buku tulis B5 yang terbuka, lalu menunduk ke arah Lintang di bawah bayangan buku tersebut.

Aku mengecup bibirnya yang mungil. Manis, seperti biasa. Kayaknya dia habis ngemut Chupa Chups rasa cola juga, hahaha.

"Tentu saja bisa," bisikku, tersenyum senang melihat wajah dan lehernya memerah.


×

×

×


Sore hari. Seperti yang Lintang lakukan, sekarang rutinitasku bertambah dengan memandangi senja. Lagian itu namaku, dan mungkin, karena saat senja lah purnama juga muncul, walau dia sudah mulai terkikis berhubung ini bukan pertengahan bulan. Toh langit tetap menawan seperti biasa.

Dan anehnya aku nggak ketemu sama Danu. Biasanya dia sama anak buahnya udah stand by di persimpangan jalan tempat aku dan Lintang berpisah karena lokasi rumah kami beda arah. Aku menggerutu. Tahu gini aku bareng Lintang aja. Dengan perasaan dongkol aku merogoh saku dan mengambil handphone.

"Halo, Bin," begitu mendengar panggilan terhubung, aku bersuara. "Kamu udah selesai sama Lintang?"

"... "

"Lha kata dia tadi dia ada urusan sama anak OSIS, kan kamu anggota OSIS?" aku mengerutkan kening.

"... "

"Owh―shit, fuck! Thanks!"

Aku buru-buru mengakhiri panggilan dan berlari kembali ke arah sekolah. Sial, kenapa aku mau-mau aja nurutin kata Lintang buat pulang duluan?? Harusnya aku tahu kalau dia bakal ngerencanain sesuatu, the fuck?? Otak sialan. Giliran dibutuhin kerja malah macet. Kudu dipecat dulu apa dari kepala??

Ketika sampai di sekolah, kawasan itu sudah sepi. Aku terengah dengan peluh bercucuran, menatap nanar ke sekeliling. Nggak ada tanda-tanda makhluk hidup―kecuali pohon angsana sama beberapa bangau sawah terbang tapiiii itu bukan Lintang!―di sekitar sana, makanya aku lanjut lari lagi ke kebun belakang.

"―kalian ngerti kan sekarang?"

Itu suara Lintang.

Aku berhenti untuk mengatur nafas, masih tersengal. Pandanganku kabur karena kunang-kunang dan God, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku mengerjap, masih tersembunyi di rerindangan pohon dan menangkap bagaimana sosok Lintang bersandar pada tembok putih belakang sekolah yang rada lumutan.

Dia kelihatan lumayan parah. Danu serta anak buahnya bergelimpangan di tanah, mengerang tertahan, sebagian lainnya mungkin pingsan.

"Jangan ganggu anak itu lagi," Lintang menegakkan badan sekarang, membenahi seragamnya yang berantakan. Jaket plaid katun yang selalu dia kenakan juga kelihatan robek. Aku tahu itu favoritnya. Danu brengsek.

"K-kenapa?"

Aku menahan nafas. Seriously, Nu?? Kalau aku jadi anak itu―yang sekarang posisinya tepat di bawah sol sepatu Lintang―yang ada aku bakalan diam pura-pura mati.

"AKU BILANG JANGAN YA JANGAN!" bentak Lintang garang, menendang perut Danu, membuat cowok itu terbatuk dan―oh-my-to-the-God, apa itu darah??! Yiaks! "KALO KALIAN NYENTUH DIA LAGI, AKU PASTIIN KALIAN NGGAK AKAN BISA BANGUN SELAMANYA."

Glek. O-kee, aku baru tahu sisi Lintang yang ini. Bocah sadis!

Danu sepertinya udah nyerah mencoba lebih jauh setelah Lintang menginjak pelipisnya dengan keras dan menendang perut anak di sisi kanan Danu seperti mengoper bola sepak. Setelah memastikan nggak ada di antara enam cowok itu yang bergerak lagi selain buat ngambil udara, bahu Lintang melorot. Dia membuang nafas, kemudian melangkah ke arahku dan mengangkat kepala.

not yet end [in ed.]Where stories live. Discover now