"Anjir―serius Ka?"

Aku mengangguk malu-malu, muka masih merah dan panas. Bintang barusan kesedak air yang dia minum, menatap kaget. Baru kali ini aku lihat dia bener-bener syok. Senyumku terkembang lagi, sembari melirik purnama yang menggantung tinggi.

"Buset dah, ini baru hari kedua dan kamu udah bisa nyium dia," Bintang termenung, kayak menolak untuk percaya informasi tersebut. Dia melirik dengan tatapan menghakimi. "Terus? Rekasi Lintang gimana? Aku nggak tahu dia gay."

"Aku juga enggak," acuh tak acuh aku mengangkat bahu. "Tapi Bin, emang pernah kamu lihat dia pacaran sama orang lain selama ini? Enggak kan? Di medsos juga nggak ada tanda-tanda dia ada sejarah relationship atau apa."

"Err," Bintang mengusap belakang lehernya, mendengus. "Mungkin karena dia itu licik. Hati-hati aja sama dia, Ka."

Aku nggak mengindahkan peringatan Bintang. Dia cuma tahu cangkang Lintang, kan? Kali aja anak itu kayak bawang yang berlapis-lapis. Topeng paling luar dan paling sering dia pakai itu pas sama anak lain. Topeng kedua dia pakai kalau ketemu anak macam Bintang. Topeng ketiga untuk Jo, topeng keempat untuk preman sekolah macem Danu. Begitu seterusnya, topeng-topeng untuk tiap hal berbeda, orang yang tak sama.

Tapi aku nggak akan jatuh ke persona yang Lintang tawarkan.

Karena dia yang bakal jatuh ke tanganku, tanpa apa-apa.


×

×

×



Sudah seminggu sejak aku resmi jadi murid baru, dan selama itu pula aku nempel terus macam benalu ke Lintang. Awalnya dia kelihatan keganggu, tapi lama-lama biasa nganggap aku tembok doang atau cuma angin lalu.

Augh. Sakit tak berdarah. Berhubung Lintang menggemaskan, gak apa lah. 

Tapi dia nggak bisa nggak merah padam pas aku curi-curi kesempatan nyium pipinya dan sumpah, walau dia nonjok rahang atau nginjak kaki atau nyikut rusukku setelahnya, aku nggak bisa tahan buat nggak melambung tiap tahu dia malu dan nggak mau bikin kontak mata.

Eheheh.

Eheheheheh.

Kayaknya aku udah sakit jiwa.

"Masih gara-gara Danu?"

Aku meringis. Kemarin apes banget, lantaran nggak berhasil kabur dari Danu sama anak buahnya untuk kali ketiga. Hari Kamis sama Selasa juga aku ketangkep dan pulang babak belur, tapi kemarin aku dihabisin sama Danu sekalian gegara mulut besarku bilang dia nggak punya isi kepala.

Ini semua gara-gara Hati emang. Dia sensitif banget, nggak bisa rasional dikit kayak Otak. Nggak mikir jadinya mukaku ditonjok dan perutku ditendang gegara ngikutin kemauannya dia yang dendam setengah mampus sama Danu dkk.

Dan Lintang, seminggu ini juga, kelihatannya tahu ada apa dan makin lama makin kesal karena aku selalu datang dengan tubuh penuh luka.

"Aku kepeleset kemarin," jawabku ringan, tahu pasti dia lebih dari jenius untuk nggak kemakan alesan konyol itu. Mana ada orang jatuh tapi lebamnya selalu di muka?

Lintang mengerutkan kening, lalu menatap ke luar jendela. Dia tampak berpikir sejenak sebelum menoleh ke arahku lagi.

"Kayaknya nanti kamu pulang duluan aja deh, nggak usah nunggu di gerbang depan kayak biasanya. Aku ada urusan sama OSIS," dia mengatakan hal tersebut dengan raut datar. "Bisa kan kamu nggak kepeleset lagi, nanti?"

not yet end [in ed.]Where stories live. Discover now