Dengan langkah gontai, Alby beranjak ke kamar mandi. Air dingin yang membasahi wajahnya perlahan membangunkan seluruh indranya. Ia menatap cermin, melihat bayangan dirinya yang terlihat lelah namun tetap berusaha tersenyum. "Hari ini harus semangat," gumamnya pada diri sendiri.
Setelah bersiap, Alby menyambar tasnya dan bergegas keluar apartemen. Jalanan Jakarta yang sudah mulai ramai menyambutnya. Ia menyetir mobilnya dengan hati-hati, sesekali melirik jam tangannya. Pukul 6:30, masih ada waktu sebelum syuting dimulai.
Di studio, suasana sudah riuh dengan kesibukan kru yang mempersiapkan segala sesuatunya. Alby disambut dengan senyuman dan sapaan hangat dari rekan-rekan kerjanya. Tim make-up dan wardrobe segera menghampirinya, mempersiapkan penampilannya untuk acara pagi ini.
"Siap untuk hari ini, Alby?" tanya salah satu kru.
Alby mengangguk mantap. "Selalu siap," jawabnya dengan senyum lebar.
Tepat pukul 7 pagi, lampu studio menyala dan kamera mulai berputar. Alby menarik napas dalam-dalam, merapikan blazernya sekali lagi, dan memasang senyum terbaiknya.
"Selamat pagi, Pemirsa!" sapa Alby dengan penuh semangat. "Bersama saya, Alby, di 'Gosip Pagi'. Siap untuk mendengar berita terhangat dari dunia hiburan?"
Selama dua jam berikutnya, Alby memandu acara dengan energi yang tak pernah surut. Ia membahas berbagai topik, mulai dari film terbaru yang akan tayang, hingga kontroversi di balik layar sebuah reality show populer.
"Nah, pemirsa, bagaimana menurut Anda tentang pernyataan kontroversial dari Diva R ini?" tanya Alby, matanya berkilat penuh minat saat ia berpaling ke arah bintang tamu hari itu, seorang kritikus film terkenal.
Diskusi pun berlanjut, dipenuhi analisis tajam dan sesekali diselingi canda ringan yang membuat suasana studio tetap hidup. Alby dengan cekatan mengarahkan pembicaraan, memastikan setiap detik acara terisi dengan konten yang menarik.
Di balik profesionalitasnya, hanya Alby yang tahu bahwa pikirannya sesekali melayang ke sosok Juan. Hari ini adalah hari istimewa mereka, namun ia harus melewatkannya sendirian di depan kamera. Tapi Alby adalah seorang profesional sejati. Ia menelan kerinduan itu dan terus membawakan acara dengan prima, tanpa seorang pun menyadari gejolak perasaan di balik senyumnya yang menawan.
Setelah acara selesai, Alby masih harus menghadiri beberapa rapat produksi dan melakukan pemotretan untuk majalah. Waktu berlalu begitu cepat, dan tiba-tiba saja hari sudah menjelang malam.
Dengan tubuh yang terasa remuk, Alby akhirnya bisa pulang ke apartemennya. Ia menyetir dalam diam, pikirannya melayang pada Juan dan hari istimewa mereka yang tak bisa dirayakan bersama. Setibanya di gedung apartemen, Alby menaiki lift dengan langkah gontai. Ia merogoh saku, mencari kunci apartemennya.
Saat pintu terbuka, kegelapan menyambutnya. Alby menghela napas, sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Namun, baru saja ia hendak menyalakan lampu, tiba-tiba ruangan menjadi terang benderang.
"SURPRISE!"
Suara sorakan memenuhi ruangan. Alby terkesiap, matanya melebar melihat pemandangan di hadapannya. Di sana berdiri Ibu Ita, Mama Gebby, Kak Manuel, dan Nenek Mira. Dan di tengah-tengah mereka, dengan senyum lebar dan kue di tangan, berdiri Juan.
Alby terpaku. Ia mengerjapkan mata berkali-kali, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Juan?" bisiknya lirih.
Juan melangkah maju, masih dengan senyum yang sama. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Alby merasa dunianya berhenti berputar.
"Selamat ulang tahun pernikahan, sayang," ucap Juan.
Suara itu. Suara yang selama ini hanya bisa Alby bayangkan. Suara yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Suara Juan.
Alby terdiam, matanya terbelalak. Ia menatap Juan, lalu beralih ke keluarganya yang tersenyum lebar, lalu kembali ke Juan. "Kamu... kamu bisa bicara?" tanyanya terbata-bata.
Juan mengangguk. "Surprise," ucapnya lagi, kali ini dengan nada menggoda. "Bagaimana? Apa suaraku terdengar seksi?"
Alby masih terpaku, tak mampu berkata-kata. Juan, melihat reaksi ini, terus menggodanya. "Alby sayang, kenapa diam saja? Apa kau terpesona dengan suaraku?"
Seolah tersadar, Alby tiba-tiba berlari ke arah Juan. Ia melompat, memeluk Juan erat-erat. Juan yang tak siap dengan serangan mendadak ini kehilangan keseimbangan. Kue yang dipegangnya jatuh ke lantai dengan bunyi 'splat' yang keras.
Semua orang di ruangan itu terkesiap kaget, kecuali Alby. Ia tak peduli dengan kue yang kini berserakan di lantai. Yang ia pedulikan hanyalah Juan, Juan yang kini bisa berbicara, Juan dengan suaranya yang dalam dan hangat, Juan yang akhirnya kembali.
"Bagaimana bisa?" tanya Alby di sela isak tangisnya. "Kapan? Bagaimana?"
Juan tersenyum, tangannya mengelus rambut Alby dengan lembut. "Aku menjalani operasi dan terapi intensif selama setahun terakhir. Itulah alasan sebenarnya aku harus tinggal lebih lama di luar negeri. Aku ingin memberimu kejutan di hari ulang tahun pernikahan kita."
Alby melepaskan pelukannya, menatap Juan dengan mata berkaca-kaca. "Jadi... selama ini..."
Juan mengangguk. "Ya, aku berbohong padamu tentang proyek itu. Maafkan aku, tapi aku ingin ini menjadi kejutan untukmu."
Alby kembali memeluk Juan erat-erat. Air matanya mengalir deras, campuran antara haru, bahagia, dan sedikit kesal karena telah dibohongi. Namun, semua itu tak penting lagi sekarang. Yang penting adalah Juan ada di sini, Juan bisa berbicara, dan mereka akhirnya bisa merayakan hari istimewa ini bersama.
Sementara Alby dan Juan larut dalam momen mereka, keluarga mereka diam-diam membereskan kekacauan kue di lantai. Ibu Ita dan Mama Gebby saling berpandangan, tersenyum haru melihat kebahagiaan anak-anak mereka. Kak Manuel mengusap air mata yang tanpa sadar menetes di pipinya, sementara Nenek Mira hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum lebar.
Malam itu berlanjut dengan perayaan kecil-kecilan. Mereka memesan kue baru dan makan malam bersama. Sepanjang malam, Alby tak bisa berhenti tersenyum dan Juan tak bisa berhenti berbicara. Ia menceritakan semua pengalamannya selama menjalani terapi, bagaimana ia berjuang keras untuk bisa mengucapkan kata pertamanya, dan betapa ia merindukan Alby setiap hari.
Ketika keluarga mereka pamit pulang, Alby dan Juan akhirnya bisa berdua saja. Mereka duduk di sofa, Alby bersandar di dada Juan, menikmati detak jantung yang familiar itu.
"Aku masih tidak percaya ini nyata," bisik Alby.
Juan tersenyum, mencium puncak kepala Alby dengan lembut. "Ini nyata, sayang. Aku di sini, dan aku bisa berbicara. Dan aku akan mengatakannya berkali-kali mulai sekarang: aku mencintaimu, Alby."
Air mata Alby kembali mengalir mendengar kata-kata itu. Ia mendongak, menatap Juan dengan penuh cinta. "Aku juga mencintaimu, Juan. Selalu."
Mereka berciuman, ciuman yang penuh dengan cinta, kerinduan, dan janji untuk masa depan. Saat mereka terpisah, Juan menggenggam tangan Alby erat.
"Jadi, apa rencanamu untuk setahun ke depan?" tanya Juan.
Alby tersenyum lebar. "Mendengarkanmu berbicara sebanyak mungkin. Kamu?"
Juan tertawa, suara tawa yang membuat hati Alby menghangat. "Berbicara sebanyak mungkin, tentu saja. Dan mencintaimu lebih dari sebelumnya."
Mereka kembali berpelukan, membayangkan masa depan yang kini terasa lebih cerah dari sebelumnya. Setahun yang lalu, mereka memulai perjalanan pernikahan mereka dengan keterbatasan. Kini, mereka siap memulai babak baru dalam hidup mereka, dengan cinta yang sama kuatnya namun dengan cara yang baru untuk mengekspresikannya.
Dan begitulah, malam itu menjadi awal dari seribu malam berikutnya yang dipenuhi dengan suara tawa, obrolan hangat, dan cinta yang tak terbatas. Alby dan Juan, dua jiwa yang telah menemukan cara baru untuk saling melengkapi, siap menghadapi apapun yang akan datang dalam hidup mereka, bersama-sama.
~ ENDING ~
Ada Bab Bonus !!! Di tunggu besok
YOU ARE READING
Voiceless Ties [END]
Fanfictionshininghands September, 2024 COMPLETED ✅️ BXB! homophobic, this is not ur place. Bahasa Indonesia semi baku Alby as Hc (sub) Juan as Jn (dom) Nohyuck | Jendong -♡ Malam itu, dua dunia yang tak pernah bersinggungan mulai menari dalam orbit yang sama...
Epilog
Start from the beginning
![Voiceless Ties [END]](https://img.wattpad.com/cover/376728376-64-k527360.jpg)