Bab 8

257 35 4
                                    

Malam gelap gulita, tidak ada bulan maupun bintang. Suara cuitan burung malam terdengar dari arah pohon tinggi yang menghadap jendela kamar sang pemilik rumah yang di biarkan terbuka, sehingga angin menerobos masuk kedalam.

"Masuklah!" perintah Eizer ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dia masih memandang keluar, menikmati semilir angin malam yang menerpa wajahnya, membawa pergi asap tembakau di hisapnya.

"Tuan," sapa Bobby.

"Bagaimana?" Eizer bertanya. Dia masih dengan posisi semula, tak berniat menoleh ke arah Bobby.

"Semuanya berjalan dengan lancar, Tuan. Ibu Nona Elena sudah di pindahkan kedalam ruangan terbaik di rumah sakit," jelas Bobby.

"Baiklah. Kau boleh pergi, " ucap Eizer.

"Baik, Tuan." Bobby membungkukkan sedikit badannya, lalu dia segera keluar dari kamar Eizer.

Setelah kepergian Bobby, Eizer menghela napasnya dengan cukup kasar. Dia menaruh sisa tembakaunya kedalam asbak, lantas berdiri dan kini berjalan ke arah rak buku. Dia mengambil salah satu buku yang berjejeran di sana dan membawanya kembali ke tempat semula.

Suara buku yang bersentuhan dengan wajah terdengar. Eizer menutup wajahnya menggunakan buku yang tadi di bawanya. Niat hatinya ingin membaca buku untuk mengalihkan segala pikiran tentang gadis yang tadi siang mendatanginya, tetapi pikirannya malah semakin tak menentu. Dia merasakan bagaimana hatinya begitu senang ketika mendapati Elena kembali kepadanya untuk menerima tawarannya. Sedangkan sebelumnya dia sempat resah dan tak fokus bekerja hanya karena memikirkan bahwa Elena benar-benar menolak tawarannya.

"Elena," gumamnya. Nama itu terus terngiang di telinganya. Dia merasakan hal berbeda kepada gadis itu. Entah itu karena hawa nafsunya atau karena hal lain. Tetapi yang saat ini dia rasakan adalah hawa nafsu dirinya yang terus mendera dan ingin mendapatkan apa yang dia inginkan.

**

Pada siang harinya ketika ibunya sudah sadar, Elena memilih kembali ke rumah Eizer. Ibunya juga menyuruhnya untuk Cepat-cepat pulang karena khawatir dirinya terkena marah akibat terlalu lama di rumah sakit. Dia menurut, dan hanya bisa menitipkan ibunya kepada perawat yang ditugaskan untuk merawat ibunya selama ibunya di sana.

Saat ini Elena sudah berada di dalam kamarnya, dia mandi terlebih dahulu dan segera berganti baju setelah acara mandi singkatnya selesai. Dia menuju ke arah kebun bunga, di mana di sana sudah terlihat keberadaa Rose dan Aran.

"Elena," sambut Rose. Dia tersenyum dan melihat kedatangan Elena. "Bagaimana keadaan ibumu? Apakah operasinya berjalan dengan baik?" tanya Rose tak sabar mendapatkan jawaban dari Elena.

"Semuanya berjalan dengan baik, Bibi. Ibu juga sudah sadar dari obat biusnya sehingga aku bisa kembali ke sini," ucap Elena.

Rose meraih tangannya dan menciumnya dengan lembut. "Syukurlah, Elena. Apa kau tahu aku begitu khawatir sedari malam," ucapnya. Dia merasa terharu. Ibu Elena adalah teman bekerjanya yang baik. Dia juga dulu belajar tentang bunga dari ibu Elena. Untuk itulah dia merasa sedih ketika ibu Elena sakit dan sekarang dia merasa senang mendengar kabar baik itu.

"Iya, Bibi. Aku juga mau berterimakasih bibi sudah mengkhawatirkan ibuku," ucap Elena.

Aran yang melihat Elena dan Rose hanya menggelengkan kepalanya. "Sudah-sudah, lebih baik kita do'akan dia cepat pulih dan bisa berkumpul lagi dengan kita. Sekarang kita harus kembali bekerja, jika tidak kita akan kena marah. Apa kalian tidak melihat tatapan tajam yang sedari tadi memperhatikan kita dari sana?" mata Aran bergulir, mencoba menujukan kepada Elena dan Rose bahwa sedari tadi seseorang memperhatikan mereka.

Troubled ManWhere stories live. Discover now