Mimpi Papah ; Melihat Kamu Menjalani Mimpi Kamu

44 26 0
                                    

Hidup di dunia, Javian punya banyak kekhawatiran. Khawatir apakah dia masih bisa memakan makanan enak, khawatir akankah masih ada hari esok-"PAPAH!"-Dan khawatir, apakah setelah ini, dia masih bisa melihat dan mendengar suara putranya di dunia ini?

Di ambang pintu, anak itu menampakkan senyuman lebarnya. Lantas setengah berlari mendekati ranjang tempatnya terbaring. Di belakangnya, Ibunya sempat menutup pintu sebelum akhirnya menyusul.

"Hai, jagoan papah!" Javian bangkit dati tidurnya, membalasnya dengan senyuman tak kalah lebar. Tak peduli meski ia harus susah payah menahan nyeri pada tangannya yang terdapat infus. "Kok, ke sini? Nggak sekolah?" Sesaat, dia elus dengan lembut rambut lebat pada kepala mungil itu.

"Nggak mau sekolah dia, Mas. Udah aku bujuk, tapi tetap kukuh mau nemenin kamu di sini," jawab istrinya.

"Hayooo, nggak boleh gitu. Papah nggak suka, ya, Vano bolos sekolah."

"Tapi Vano mau ketemu Papah," jawab anak itu.

"Nanti sehabis sekolah, kan, bisa, hmm?"

"Kelamaan, Papah! Vano mau ketemunya sekarang." Dia mengerucutkan bibirnya, membuat Javian tak tahan hanya untuk tersenyum dan mengusuk kepalanya dengan gemas.

"Yaudah, ngga pa-pa. Tapi janji, besok sekolah, ya?" Anak itu diam, tida menjawab sepatah kata pun.

"Janji dulu sama Papah," sahut istrinya.

Karena masih tak mendapat jawaban, Javian tak segan untuk mengangkat tubuh kecil itu lantas mendudukkannya di atas pangkuannya. "Mas, hati-hati." Menyebabkan istrinya khawatir-takut jika nanti Vano akan membuatnya kesakitan.

Javian tersenyum. "Vano, katanya kamu punya mimpi mau jadi Pilot?" Anak itu mengangguk, lalu menatapnya dengan tatapan polosnya. "Kalau gitu harus rajin sekolah, dong. Pilot harus bisa membaca, memangnya Vano udah bisa membaca?"

"Belum, Papah."

"Vano mau nggak, lihat Papah seneng?"

"MAU!"

"Kalau mau lihat Papah seneng, berarti harus mau sekolah, ya?" Sesaat, anak itu diam lagi, lalu menganggukkan kepalanya dengan ragu. "Janji?" Maka, Javian mengacungkan jari kelingkingnya, yang untungnya disambut dengan baik oleh jagoan kecilnya. Menemukan itu, Javian tersenyum hingga kedua matanya menyipit-melengkung persis seperti bulan sabit.

"Tapi kalau nanti Papah udah sembuh, kita pergi jalan-jalan, ya?" pintanya kemudian.

Untuk beberapa saat, Javian tidak menjawab. Senyuman di bibirnya perlahan terurai seraya memandangi wajah polos itu untuk beberapa lama. Sampai ia merasakan usapan lembut dari telapak tangan istrinya di bagian punggung, Javian perlahan mengangguk tanpa suara.

"Papah!" panggil anak itu lagi.

"Hm?"

"Papah punya mimpi juga?"

"Punya, dong."

"Apa?"

"Mimpi Papah ada banyak. Papah pengen makan makanan enak sama Vano, sama Mamah juga. Terus pergi ke tempat-tempat bagus. Tapi kamu mau tahu nggak, mimpi Papah yang paling keren?"

"Mau! Apa itu?"

"Mimpi Papah yang paling keren, Papah mau melihat kamu menjalani mimpi kamu." Javian menjawabnya dengan menggebu. Tapi yang ia dapati setelahnya, putra kecilnya itu justru merengut.

"Mimpi apa itu? Nggak keren banget!" protesnya. Dan anehnya, Javian justru tertawa.

Saat itu, seharusnya Vano tahu, bahwa itu adalah satu-satunya mimpi paling keren yang pernah ia dengar dalam hidup. Karena dewasa ini, dia menyadari betapa keren dan berharganya mimpi papahnya yang satu itu. Di saat papahnya berjuang mati-matian agar tetap hidup dan bisa melihatnya meraih mimpi, dia justru menyepelekannya begitu saja.

"Wah, foto siapa itu, Pak? Mirip banget sama Bapak."

Dari arah belakang, seorang pria berseragam putih tiba-tiba bersuara saat ia tengah memandangi foto lama yang ia simpan di dalam dompetnya. Meski foto itu telah diambil beberapa puluh tahun yang lalu, namun gambarnya masih terlihat jelas. Sejelas ingatan yang tersimpan di kepalanya ketika momen itu terjadi dulu. Mendengar itu, vano tersenyum. "Papah saya."

"Tinggal sama Bapak? Kok, saya nggak pernah lihat? saya cuma pernah lihat mamah Bapak aja."

Vano tersenyum lagi. Namun bukannya menjawab, dia justru menoleh ke samping-pada dinding kaca tebal yang menghubungkan penglihatannya dengan pemandangan luar. "Dia tinggal di atas sana," jawabnya kemudian. Sejenak mengendikkan dagu-mengarah pada langit yang kini memancarkan warna kuning keemasan.

Vano menyukai langit. Dan di sini, dia juga yang bercita-cita menjadi seorang Pilot. Namun, siapa sangka jika papahnya lah yang malah lebih dulu mencapai langit dibanding dirinya. Tapi meskipun begitu, Vano tidak mau terjebak dalam kesenduan terlalu lama. Terbukti dengannya yang kini memilih untuk menarik sudut-sudut bibirnya ke samping, saat Dafa-seorang Co Pilot yang sebelumnya bertanya, memberikan dua tepukan singkat di pundaknya.

"Mari ...."

Hingga detik berikutnya, bersama seluruh awak kabin penerbangan yang ia pegang, mereka bersama-sama melangkah menuju travelator. Mengingat penerbangan yang akan segera dimulai satu jam lagi.

"Pah, kita akan berada di atas awan yang sama untuk kesekian kalinya. Di sana, papah beneran bisa melihat Vano menjalani mimpi Vano, kan?"

-End-

Kapten Jevano Wijaya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Kapten Jevano Wijaya

------------
Pilot


P.s:
Hai, setelah membaca ini, mungkin ada sebagian dari kalian yang merasa pernah membaca cerita ini sebelumnya. Jika iya, itu benar. Sebab cerita ini sudah aku unggah di akun TikTok sedari tahun lalu. Cuma, aku ingin menggabungkannya dengan berbagai cerita ku yang lain di Wattpad supaya kalian yang belum tahu akun TikTok ku bisa membacanya juga.

 Cuma, aku ingin menggabungkannya dengan berbagai cerita ku yang lain di Wattpad supaya kalian yang belum tahu akun TikTok ku bisa membacanya juga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cerita ini aku buat sebagai bentuk kerinduanku pada Bapak yang telah pergi 3 tahun yang lalu. Saat itu, aku teringat akan bagaimana dia yang selalu excited tiap kali aku menceritakan tentang rencana masa depanku. Sayangnya, di saat aku beranjak untuk mewujudkan semua mimpi itu satu persatu, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia mengingkari janjinya untuk menemaniku bertumbuh. Sementara di sini, aku berjalan tertatih-tatih menata semuanya sendiri.

Mimpi Seorang Ayah | Lee Jeno ✓Where stories live. Discover now