Peristiwa G30S

14 0 0
                                    

Latar belakang Peristiwa G30S PKI Marxisme sebagai sebuah pandangan filsafat, cukup populer di Indonesia. Akan tetapi sangat sedikit orang yang memahami filsafat Marxisme secara menyeluruh. Hal ini karena terbatasnya sarana dan ruang untuk mempelajari Marxisme, terutama pandangan filsafat/ ideologi Marxisme-Leninisme. Keterbatasan ini terutama dikarenakan oleh pelarangan dari penguasa pasca Soekarno, atau Orde Baru melalui TAP MPRS No. XXV/1966. Munculnya TAP MPR ini disebabkan oleh sebuah gerakan yang berlangsung pada tanggal 30 September 1 Oktober 1965. Gerakan ini dikenal juga sebagai gerakan 30 September1965. Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto (Orde Baru), ketetapan ini tetap dinyatakan berlaku lewat Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang berbunyi: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (id.wikipedia.org, 2011).


SEJARAH GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965Gerakan 30 September 1965 adalah sebuah gerakan yang sampai sekarang masih bersifat kontroversi. Ada berbagai pendapat dan kesaksian tentang G30S 1965, yang kemudian memunculkan berbagai versi G30S 1965. Setiap versi biasanya ada aktor utama yang memainkan peran sentral dalam gerakan 30 September 1965. Tiap-tiap versi memiliki aktor utama yang berbeda-beda. Seperti contoh, dalam versi Soeharto, yang menjabat sebagai presiden pada era Orde Baru, pemimpin utama G30S 1965 adalah Letkol Untung, yang juga adalah salah satu komandan Resimen Cakrabirawa, yang bertugas mengawal Presiden Soekarno. Sementara dalam versi TNI/ABRI, pemimpin utama G30S 1965 adalah ketua umum Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu D.N. Aidit


Versi Orde Baru Versi resmi Orde Baru menganggap bahwa PKI sebagai dalang dan pelaku utama G30S 1965 adalah bertujuan untuk mengubah haluan negara Indonesia. Orde Baru memandang bahwa PKI bertujuan mengubah negara Indonesia yang berhaluan Pancasila, menjadi negara yang berhaluan komunis (SETNEG R.I, 1994: 167). PKI selain ingin mengubah haluan negara Indonesia juga dipandang akan selalu melaksanakan tujuan internasionalnya yaitu mengkomuniskan bangsa Indonesia (SETNEG R.I, 1994: 168).


DAMPAK G30S 1965 TERHADAP KEHIDUPAN POLITIK, EKONOMI, DAN KEMANUSIAAN DI INDONESIASukarno melakukan langkah politik pembelaan terhadap PKI, melalui penghukuman terhadap para perwira AD, yang membekukan cabang-cabang PKI pada tahun 1960 (Roosa, 2008: 297). Beberapa saat sebelum meletusnya Gerakan 30 September 1965, keseimbangan ini mulai goyah, sikap Sukarno, semakin pro PKI adalah salah satu pemicunya. Pelarangan terhadap Partai Murba yang anti PKI, dan pelarangan terbit terhadap berbagai surat kabar yang anti PKI adalah beberapa contoh keberpihakan Sukarno terhadap PKI (Ricklefs, 2001: 336). Akan tetapi pihak TNI sadar bahwa usaha penggulingan Sukarno secara terang-terangan adalah sia-sia karena popularitas Sukarno yang tinggi di mata rakyat (Roosa, 2008: 300).Sebenarnya kedekatan Sukarno dengan PKI sudah terlihat semenjak tahun 1959. Hal ini terjadi karena PKI adalah pendukung sikap nasionalis militan Sukarno yang paling konsisten. Dengan dukungan PKI yang memiliki kekuatan massa yang cukup besar, Sukarno memiliki posisi tawar yang cukup kuat di hadapan TNI (militer) (Mortimer, 2006: 79). G30S 1965 adalah alasan bagi pihak TNI untuk mengambil langkah terang-terangan membasmi PKI. Aksi pembasmian G30S 1965 dan PKI, dipimpin oleh Suharto, salah seorang Jenderal Angkatan Darat. Pada pukul 18.00 WIB, tanggal 1 Oktober 1965, Suharto dan pasukannya telah berhasil merebut Lapangan Merdeka dan RRI. Melalui RRI, Suharto kemudian mengumumkan bahwa G30S 1965, adalah sebuah gerakan kontrarevolusioner (Roosa, 2008: 317).


Kepemimpinan PKI Lapisan teratas dari kepemimpinan PKI dalam periode ini sebagian besar diduduki oleh para veteran pemberotakan tahun 1926-1927. Semaun termasuk salah satu arsitek pemberontakan tersebut dan muncul sebagai puncak penanggung jawab kegiatan PKI masa itu. Muhammad Yusuf, Soebardjo, juga merupakan mantan pemimpi PKI periode 1926-1927, demikian pula Darsomo dan Tan Malaka. Selain itu, lahir pula muka-muka baru dalam pergerakan PKI ini, yakni Setiadji, Abdul Madjid, Suripno, dan Maruto Darrusman yang muncul di kalangan pimpinan teratas PKI, setelah sebelumnya cukup berpengalaman dalam organisasi lain seperi Perhimpunan Indonesia. Dua posisi kunci yang muncul pada posisi kunci menjelang akhir periode ini adalah Aidit dan Nyoto. Aidit yang pada awalnya anggota CC PKI pada kongres ke-empat PKI, kemudian memegang kendali pada Departemen Propaganda dan Sekretaris Eksekutif FDR, sedangkan Nyoto mendapatkan posisi Kepala Seksi Informasi dalam Departemen Propaganda. Pada masa itu gerakan bawah tanah relative subur dan berkembang, bahkan gerakan ini sempat mengeluarkan program 18 pasal pada tahun 1932.4 tuntutan dari program program itu sangat mengutamakan kebebasan untuk berorganisasi yang tentu akan berkembang jika Indonesia bebas dari penjajahan. Tuntutan itu juga direncanakan dalam program yang bertujuan untuk memperbaiki upah buruh dan perbaikan-perbaikan kehidupan petani. Dari luar negeri, usaha yang dilakuakn dalam mengorganisir kembali program maupun pergerakan PKI terus berjalan. Pada bulan April 1935, Muso ke Surabaya dan membentuk PKI bawah tanah (Ilegal–PKI), di samping itu Tan Malaka juga mengorganisir gerakan dibawah tanah. Akan tetapi, karena gerakan bawah tanah PKI ini sangat terbatas sebagai akibat karena sikap kewaspadaan PID dan pemerintah Kolonial Belanda., maka gerakan ini sangat terbatas pula pengaruhnya dalam masyarakat. (Jakarta : Yayasan Embaruan, 1960)


Kesimpulan Peristiwa G30S PKI menciptakan krisis politik dan ekonomi yang mendalam di Indonesia. Pembunuhan enam perwira tinggi militer mengakibatkan kehancuran struktur keamanan negara, menciptakan ketidakstabilan politik yang berkepanjangan. Peristiwa ini juga memengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat. Dengan banyaknya perusahaan asing yang nasionalisasi dan kebijakan anti-komunis, Indonesia memasuki era isolasi internasional. Peristiwa G30S PKI adalah babak kelam dalam sejarah Indonesia yang mengajarkan banyak pelajaran berharga. Melalui pemahaman yang mendalam, bangsa Indonesia dan pelajar dapat membangun masa depan yang lebih baik dengan menghargai nilai-nilai demokrasi, perdamaian, dan toleransi.


Sumber Refrensi: Repository UIN Syarif HidayatullahJurnal Universitas Gadjah MadaMEDIA NELITI

Peristiwa G30SWhere stories live. Discover now