End

0 0 0
                                    

Angin berhembus kencang diiringi daun-daun dipepohonan bergoyang dengan indahnya, dikelilingi oleh pantai yang indah juga suara ombak yang menenangkan hati. Nanami Kento namanya. Seorang pria yang sudah mengenalkanku apa itu arti hidup yang sebenarnya. Memberiku semangat di kala putus asa melanda diriku hingga kembali memiliki tekad untuk terus melanjutkan hidup.

Berjalan berdampingan dengan tangan yang saling bertaut, kami berdua tersenyum lebar layaknya seorang pasangan anak remaja SMA yang sedang dimabuk cinta. Kami seperti kembali ke masa remaja kami, dimana semuanya terasa indah jika kami bersama. Perlahan, rambut pirangnya itu terhembus angin, memperlihatkan wajah tampannya yang menatap wajahku sangat tulus.

Kami pun saling bertatap tanpa mengatakan apapun. Yang terdengar hanya suara kekehan yang keluar dari mulutku, dan disusul dengannya.

"Aku.. suka melihatmu tersenyum bebas seperti saat ini." Aku berkata. Mengadahkan kepalaku sedikit sehingga aku bisa melihat wajah tampannya. Aku lihat tangan Nanami meraih rambutku yang pendek itu, mengusapnya sepelan mungkin. Berusaha untuk tidak mengacak-acaknya.

Senyuman di wajahnya itu pun tak pernah luntur, "ya, aku juga." Gila. Bohong kalau aku tidak suka melihat senyuman Nanami yang tulus itu terus menerus. Karena aku, bisa satu minggu terus menatap senyumannya tanpa henti.

Semburat merah di wajahku pun seketika mulai terlihat, aku langsung memalingkan wajah. Ia melihat gerak-gerikku, sangat lucu, mungkin itulah yang sedang ia pikirkan sekarang. "Yah.. bagaimana kalau kita kesana?" Jari telunjuk aku arahkan ke tengah pantai.

Nanami mengerutkan dahinya, "apa bedanya dengan posisi saat ini?"

"Hanya ingin berjalan-jalan. Tidak ada salahnya kan?"

"Namun itu terlihat cukup jauh, aku bahkan tidak tau apakah kau tidak akan kelelahan sebelum sampai kesana."

"Hei, aku tidak begitu lelah sekarang. Jadi aku yakin pasti kita akan sampai kesana sebelum lelah."

"Tetapi—"

"Aku ingin menikmati setiap waktu bersamamu, Kento."

Haha. Itu senjata terakhirku untuk membujuknya. Ya, memanggil nama Nanami dengan nama depannya. Entah kenapa, ia sangat senang bila terdapat seseorang yang memanggil nama depannya. Apalagi, orang tersebut adalah orang yang ia sayangi, semacam pacar atau kekasih.

Kekehan kecil seketika keluar dari mulut pria itu, merasa terlalu cepat perdebatannya dikalahkan oleh sang kekasih. Aku hanya melihatnya sembari mengangkat alisku, mengejeknya. "Baiklah, aku kalah." Kemudian Nanami menarik tanganku pelan, membawa wajahku mendekat kepadanya. "Tapi aku tidak mau menggendongmu jika kakimu mulai terasa sakit."

"Tidak akan."

Kami pun mulai berjalan berdampingan sepanjang pantai, berbincang tentang segala hal sembari merasakan pasir-pasir hangat yang terasa seperti sutra lembut itu terinjak oleh jari kakiku. Dengan udara di sekeliling pantai yang asin memenuhi paru-paru, sinar matahari juga perlahan menghangatkan tubuhku.

Semuanya seketika buyar dalam sekejap mata. Semuanya yang aku impikan hilang saat aku beralih menatap ke arah luasnya lautan yang terbentang di hadapanku tanpa ujung itu. Tak ada lagi sosok yang aku sayangi berjalan mendampingiku di kala sore hari. Aku rindu. Sangat merindukannya. Kenangan-kenangan indah seperti itu selalu muncul apabila aku menginjakkan kaki di setiap pantai. Ia selalu berkata kepadaku, bahwa suatu saat dirinya ingin sekali pergi ke pantai bersamaku, namun mungkin takdir berkehendak lain. Tuhan tidak mengizinkannya untuk melihat salah satu ciptaannya yang indah itu kepada Nanami. Mungkin, Tuhan sangat menyayangi Nanami hingga ia pergi terlebih dahulu meninggalkanku sendirian.

Rasa sakit yang aku rasakan karena kehilangannya sangat besar. Setiap saat aku merindukan tawa, suara dan sosoknya yang selalu merengkuh tubuhku dengan hangat. Aku masih tak bisa mempercayai bahwa Nanami sudah hilang. Namun di sisi lain, diriku selalu mengatakan untuk mencoba mengikhlaskan kepergiannya itu, walaupun aku tau itu bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan.

Dengan matahari yang sepertinya sudah akan tenggelam, aku pun memejamkan mata sembari menghela napas, merasakan bulir-bulir air mata perlahan mulai membasahi pipiku. Rasanya sakit, sakit sekali. Aku sangat merindukannya. Aku tau jika Nanami melihat diriku yang sekarang menjadi seperti ini, ia akan merasa sedih. Ia sangat tidak suka melihatku menangis. Apalagi karenanya. Mungkin jika ia masih berdiri di sampingku saat ini, Nanami akan segera memelukku erat, mengusap-usap kepalaku dengan penuh kasih sayang sembari mengucapkan kata-kata yang menenangkan sampai aku berhenti menangis. Tapi, aku sangat tau bahwa itu tidak akan terjadi.

Dengan bahu yang mulai bergetar, aku tidak bisa lagi menahan tangisku. Air mataku hanya mengalir tanpa henti, walau aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk menahannya dan memberhentikannya. Hampa dan sunyi, pantai ini terasa sangat sepi. Sembari ditemani langit yang kian menggelap, aku pun memutuskan untuk pergi. Berjalan kembali keluar pantai dengan petugas yang kerap memanggilku, memberitahu bahwa pantai ini akan segera tutup.

"Betapa memalukan." Ucapku pada diriku sendiri. Bayangkan, berdiri sendirian sembari menangis sampai matahari pun terbenam, jika petugas pantai tersebut tidak berani menghampiriku dan langsung menyimpulkan bahwa diriku ini hantu atau apapun itu, aku mungkin sudah tidak bisa pulang dan terjebak di sini untuk hari ini. Beruntung, petugas pantai itu salah satu orang yang berani.

Melangkahkan kaki menuju parkiran, aku membuka pintu mobil dan mulai menyalakannya, pulang ke apartemenku dengan berat hati.

______________________________________________

hope i'll see you again | nanamiWhere stories live. Discover now