"Tapi kan pantes, kulit Laras jadi glowing gitu," Mbak Dhea menimpali. Siang itu, mereka memang lagi makan ketoprak bareng di pantri. Malas ke luar karena panas banget.

Dan meski dirubung dengan komentar yang terkesan meledek, Laras tetap menawarkan buah- buahan itu pada rekan- rekannya. "Kamu mau, Fit? Ini jeruknya enak lho. Manis, kok."

"Nggak deh, Ras. Makasih. Besok deh aku bawain kamu mangga sekalian. Sepupuku baru datang dari Indramayu. Mangganya enak deh!"

"Apa mendingan besok kita ngerujak aja, nih?" Yunita mengusulkan. "Kayaknya udah lama kan nggak ngerujak?!"

"Boleh juga tuh,"

"Gimana, Ras, Mbak Dhea?"

"Gue sih oke aja!"

"Aku juga oke kalau gitu."

Pintu pantri terbuka. Tampak Mbak Dartik, pramubakti kantor yang napasnya ngos- ngosan. "Mbak Laras," ujarnya. "Dipanggil Pak Suta."

***

Rupanya Suta meminta Laras untuk ikut mengecek toko yang ada di Jakarta Utara. Kemarin, Wirya yang bertanggungjawab atas Ranjana cabang Pluit tidak muncul dalam rapat bulanan.

Ranjana di Pluit menempati gedung empat lantai. Ranjana supermarket berada di lantai satu dan department store berada di lantai dua. Lantai  tiga masih digunakan untuk department store dan kantor. Ground floor digunakan sebagai tempat parkir, sementara area paling atas ada wahana permainan. Rencananya, Ranjana akan membangun restoran juga.

Menurut Linda, cabang Ranjana di Pluit ini mengalami penurunan omset yang terbilang drastis. Dan itu sudah terjadi selama dua tahun belakangan. Padahal, bila ditilik lebih lanjut, pengunjung toko ini lumayan banyak. Parkiran selalu penuh saat akhir pekan, akhir bulan, awal bulan, atau pada perayaan hari- hari besar keagamaan.

Namun pihak keuangan dari kantor pusat sudah lama mengeluhkan betapa mereka harus menambal operasional cabang di Pluit tersebut.

Saat melihat Suta datang bersama rombongannya yang beranggotakan Syahid, Dhea, Linda dan Laras, semua pegawai langsung bergerak serampangan ke sana ke mari. Berpura- pura sedang sibuk bekerja atau melayani kostumer. Sebetulnya bagian yang paling sibuk adalah supermarket. Di bagian pakaian, sepatu, pernak- pernik dan kosmetik cenderung lengang. "Mana Pak Wirya?"

Pegawai yang ditanya langsung tergagap ketika Suta melemparkan tatapan menghunus. "A-anu, Pak. Pak Wir- Wirya sudah empat hari tidak datang!"

"Ke ruangannya!" perintah Suta pada Laras yang berjalan persis di belakang kursi rodanya. Semua langsung mengekor masuk ke lift menuju lantai  tiga.

Begitu memasuki lantai tiga, pemandangan beberapa staf yang alih - alih bekerja, mereka malah bercengkerama. Banyak yang main media sosial, sama sekali tidak ada yang bekerja. Suta berdeham. Dan semuanya langsung kocar- kacir, kalang- kabut kembali ke pos masing- masing.

Tepat pada saat itu, janin dalam kandungan Laras memilih untuk berulah. Ia membuat kepala ibunya pusing mendadak. Hingga ketika Suta mulai berpidato tentang kedisiplinan saat jam kerja, perempuan itu ambruk di belakang Suta. Kepalanya membentur bagian belakang kursi roda pria itu. Semua orang menjerit ngeri.

***

Untung saja Tuhan masih berkenan menjaga rahasia Laras. Karena alih- alih membawanya ke dokter atau klinik, Laras dibawa ke ruangan Wirya.

Di dalamnya terdapat fasilitas lengkap yang membuat Suta mengatupkan rahang dengan geram. Pria ini memang tidak bisa dibiarkan. 

Wirya dinilai telah berbuat seenaknya. Ada indikasi fraud yang dilakukannya secara terstruktur. Entah siapa orang yang berdiri di baliknya.

Begitu Laras sadar, Linda langsung memberinya minum. "Kamu biasanya minum obat apa buat ngilangin pusing, Ras? Masuk angin ya kayaknya? Kamu pucet banget gitu. "  Linda kelihatan khawatir. "Atau ke dokter saja?"

Suta mengamati dari kejauhan. Ia lah yang paling gusar ketika mendapati sekretarisnya itu pingsan dan kepalanya sempat membentur bagian belakang kursi roda.

"Nanti saya ke rumah sakit sendiri aja, Mbak. Makasih. "

"Ya udah. Habis ini kamu langsung balik aja. Nggak usah ke kantor lagi."

"Memang dibolehin sama Pak Suta, Mbak?"

"Ini perintah langsung dari beliau."

Laras mengangguk saja. Ia bersyukur karena masih memiliki pekerjaannya.  Mungkin, nanti sore atau besok, ia akan mendatangi dokter kandungannya.

***

"Pusing?" tanya Dokter Rio, sembari mengamati wajah Laras yang tampak pucat dan menekan- nekan pelan perut perempuan itu.

Laras mengangguk takut- takut. "Kenapa ya, Dok?"

"Gimana makannya? Susah? Gampang?" Dokter Rio menyudahi pemeriksaannya, lalu duduk. Sementara perawat yang bernama suster Evi membantu Laras untuk turun dari ranjang periksa.

"Sering pusing kalau pagi aja sih, Dok. " Laras kini duduk di depan meja dokter.

"Itu lantaran Bu Laras kurang makan. Janin dalam kandungan Bu Laras hanya mengambil sari- sari makanan lewat plasenta. Nah yang diambil adalah nutrisi dari tubuh ibu. Kalau ibunya kurang makan, praktis si sumber makanan bagi janin nggak terpenuhi. Asupan makanannya berkurang. Bisa dibilang, rasa pusing ibu itu adalah bentuk protes dari si adek." Dokter Rio menguraikan dengan sabar. Membuat Laras tertegun.

"Makan ya, Bu. Sayang banget kan kalau nggak dijaga kandungannya. Janin Bu Laras ini sehat. Perkembangannya juga bagus. Sesuai dengan usia kandungan."

"Dan kalau bisa, masak makanan rumah saja. Lebih bagus yang dimasak sendiri. Karena bisa mengontrol kadar gula dan garamnya." Imbuh suster Evi.

"Ba- baik,Dok. Suster. "

"Minum susu hamil?"

"Kalau minum yang bukan susu hamil boleh, Dok?"

"Boleh- boleh saja. Asal matang. Tapi yang namanya susu hamil itu sudah paling pas nutrisinya untuk ibu mengandung. Kalau bosan bisa ganti susu kacang. Entah itu kacang kedelai, atau susu kacang almond. Jangan makan makanan mentah, ya?"

Laras mengangguk. Namun, ia tak dapat menahan dirinya untuk menghela napas berat. Membuat Dokter Rio dan suster Evi menatapnya iba.

Sepulangnya dari tempat praktik dokter Rio, Laras kebingungan. Selain berdinas di rumah sakit kawasan Jakarta pusat, dokter Rio juga membuka praktik di samping rumahnya yang terletak di perumahan kawasan Kebagusan. Tempatnya cukup asri dan tenang.

Laras tidak tahu, harus melangkahkan kakinya ke mana. Pulang ke indekos pun ia malas.

Masalah kehamilan ini membuat pikirannya buntu. Dia tidak bisa menyembunyikan kehamilan ini selamanya.

Dalam kekalutan pikirannya, Laras tidak menyadari, jika dirinya sudah berjalan mengarah ke bahu jalan, sehingga ia terserempet motor dan nyaris jatuh, jika saja seseorang tidak menyambar tubuhnya.

***


Miss Dandelion Where stories live. Discover now