royal, royal au uwu

Zacznij od początku
                                    

.

Serang, tangkis, tangkis. Penyihir ini pintar ilmu pertahan diri dan serangan melalui tongkatnya. Gempa bisa mengimbangi dengan baik semua itu, tapi staminanya memang sama sekali tidak bagus dari awal.

"Guh!" Gempa menutup mulutnya yang memuntahkan darah. Efek mengeluarkan sihir tanah yang benar-benar menguras umur itu sangat menyakitkan.

"Gempa! Kau baik-baik saja?!" tanya Taufan.

'Menurutmu?!' Serangan si penyihir datang lagi dan Gempa menangkisnya dengan badan tombak.

Gempa mendorong bagian tombak yang tidak menahan serangan ke arah si penyihir, mengenai kepalanya. Jarak mereka sedikit melebar dan Gempa segera mengarahkan mata tombaknya ke arah dada, namun ditahan dengan sihir. Taufan yang sedari tadi sibuk dengan rapalan mantra menyelesaikan rapalan itu lalu muncul benda besar transparan di atas di penyihir. Benda mirip jangkar itu dijatuhkan ke bawah namun si penyihir lagi-lagi menahan dengan sihirnya. Bersamaan, Gempa bergerak maju untuk menyerang si penyihir. Tusukan dan gerakan diagonal.

Setiap dua detik sekali jangkar yang dirapal oleh Taufan terus dijatuhkan dan si penyihir di serang dari dua arah. Gempa tidak membiarkan ada jeda di antara serangannya dan itu sangat merepotkan bagi si penyihir.

"Cih!" si penyihir berdecak dan menatap ke arah Taufan. Matanya seketika berganti warna menjadi merah menyala dan Gempa tahu itu adalah tanda bahaya.

"Taufan jangan ditatap!"

Terlambat, tubuh Taufan menjadi kaku dan rapalan sihirnya terhenti begitu saja. Belum selesai terkejut dengan serangan pada Taufan, Gempa terkejut untuk kedua kalinya saat tombaknya ditarik dan ulu hatinya dipukul keras-keras oleh si penyihir.

Tombaknya dirampas, tangan kanan Gempa digenggam erat dan dengan mudah, sama sekali tidak terlihat kesulitan, Gempa dihempaskan ke tanah. Lantai menjadi retak dengan jatuhnya tubuh Gempa.

Brak!!

Gempa terbatuk keras. Taufan yang tidak kehilangan kesadaran menatap ngeri ke arah Gempa.

Tangan Gempa ditarik kembali, lalu tubuhnya dihempaskan lagi. Tiga kali tubuhnya dibanting ke tanah seperti boneka dan kepalanya saat ini sangat pening, tubuhnya ngilu semua.

"Lepas...kan...dia..." Taufan susah payah untuk bicara di bawah kendali si penyihir.

"Yah, memang itu rencanaku," kata si penyihir lalu kembali menarik tangan Gempa lagi. Namun kali ini tidak dibanting, tubuh Gempa dilempar jauh-jauh. Terhenti dengan punggungnya menabrak pilar sampai pilar itu retak, kemudian jatuh ke lantai.

Taufan membelalak. Mulutnya terbuka untuk memanggil nama adiknya tapi sekali lagi, belum sempat dia bicara, kali ini tubuhnya melayang ke arah Gempa. Tidak menabrak pilar seperti Gempa, Taufan terhempas ke lantai, berguling dan berhenti di samping Gempa yang kesakitan.

"Agh..." Tubuh keduanya remuk redam, Gempa bahkan sudah tidak kuat menggerakkan jemarinya. Taufan yang dilepas kendalinya oleh si penyihir masih bisa bergerak dan mencoba untuk bangkit lagi.

"Merepotkan saja. Nih kukembalikan senjatamu," penyihir itu melemparkan tombak milik Gempa ke arah pemiliknya. Tombak yang dialiri sihir itu melesat dengan cepat ke arah Gempa. Anak itu sudah tak bisa lagi bergerak dan hanya bisa pasrah kalau tombak itu akan mengenainya.

Taufan yang tidak ingin Gempa terluka langsung memeluk adiknya dan melapisi punggungnya dengan angin sebelum tombak itu mengenai mereka. Namun karena kekuatannya yang sudah melemah, tak sampai satu detik perisai yang dia buat pecah dan tombak itu tetap melesat ke arah mereka. Menembus keduanya.

[Kumpulan] Trio OriOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz