Rupanya, lelaki yang tengah memunggunginya ini secara refleks menangkis telak kepalan tangan yang nyaris akan menghantam bagian wajahnya.

Ia tak dapat menahan keterkejutannya, dikiranya semua manusia yang bernapas di ruang yang sama mengelilingi mereka kini termasuk pecundang yang hanya menikmati perkelahian tanpa bermaksud menjadikan diri sebagai pahlawan kesiangan.

Jika demikian adanya, maka siapa orang yang sedang melindunginya ini?

“Kita nggak mukul anak kecil,” peringatnya dengan nada dingin.

“Lo harus tahu mulut orang yang lo bilang anak kecil ini se-lemes apa, Capt. Kalau dibiarin gitu aja, bisa-bisa semua anggota kita juga kena imbasnya. Lo mau kita dikatain ‘pengecut’ cuma karena nahan diri buat nggak nyentuh anak kecil?”

Ia munculkan separuh kepalanya dari celah bisep lelaki yang hanya memakai t-shirt polos berwarna putih tersebut. “Jangan nambahin cerita, deh. Musuh gue itu cuma lo doang, bego!”

Lelaki itu tersenyum kecil mendengarnya. “Jangan libatin anggota lain soal masalah pribadi lo. Urusan lo bukan termasuk urusan kita. Kalau agenda kobam lo udah selesai, silahkan keluar dari sini.”

Hening melanda usai sang pentolan menuturkan kalimat terpanjangnya. Beberapa pihak saling melempar pandang. Kebingungan ingin ikut suara yang mana.

“Lho? Kenapa malah anggota lo sendiri yang jadinya lo usir? Harusnya lo bilang itu ke bocah tengil yang main nyelonong masuk ke basecamp kita ini, Je!” tegas si perempuan yang tiba-tiba saja datang usai membelah kerumunan. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaannya akan kehadiran orang asing yang entah kenapa malah dibela oleh Captain mereka.

Sial! Ada apa dengan orang-orang yang menganggapnya sebagai anak kecil ini? Dia bahkan telah cukup umur untuk sekedar meminum minuman alkohol, bagian mana dalam dirinya yang mereka sebut sebagai ‘bocah’ itu?

“Kok, dikumpulan penyamun kayak kalian ada tante-tante yang nyempil, sih? Gue kira mayoritas dari kalian itu harusnya pada seumuran.” Reaksinya dibuat seperti sedang terkejut bukan main akan kehadiran wanita itu.

“Ngomong apa lo barusan?!”

Lengannya meraih punggung lelaki itu untuk menyembunyikan dirinya. “Gue bukan anak kecil, lho,” sanggahnya bergumam.

“Kalau lo bisa keluar tanpa muka bonyok dengan sebutan itu, buat sementara lo mending terima aja dulu.”

Mendesis ketus, pada akhirnya ia mengalah. “Ya udah,” ucapnya final.

Situasi masih tak kalah memanas, meski tak sepanas di Sauna, tentunya. Keduanya saling melempar tatapan sinis. Membiarkan mereka tenggelam pada aura dominasi masing-masing sebelum berakhir kala lelaki itu putuskan untuk beranjak dari sana bersama dengan kerumunan yang mengelilingi sebelumnya.

“Lo boleh pergi.”

Maka dari itu, ia langsung menjauhkan diri dari punggung lelaki yang kini mulai berbalik menghadapnya tersebut. “Nama lo siapa?” tanyanya tanpa ragu. Agaknya dia benar-benar tidak memandangnya sebagai musuh.

Tentu saja. Lee Juyeon mana punya modal untuk membuat orang ketakutan hanya dengan mendengar namanya saja. Diapun ke sini jika bukan karena nekat serta perasaan dendam yang terus melekat, sungguh tak mungkin ia berkeinginan untuk mendekat.

Apalagi ke sarang perkumpulan para penguasa kawasan sirkuit ilegal dengan hanya seorang diri tanpa backing-an sama sekali. Juyeon akui, dia memang sudah sinting.

Siren eyes itu lantas memicing. Terlihat memindai apakah ada kemungkinan jika ini merupakan strategi rekayasa pembelotan untuk menjebaknya.

Tetapi, nihil. Lelaki yang diketahuinya bernama Lee Hyunjae ini memang misterius adanya. Tidak ada yang bisa menebak isi pikirannya. Hyunjae mungkin terlihat ingin mengobrol dengan santai kepadanya, namun ekspresinya kentara tak mendukung sama sekali dengan tindakannya.

Lee Minho. Lo?” jawab Juyeon tanpa dosa seolah tak sedang melakukan kebohongan melalui kalimatnya.

Hyunjae mendengkus ringan. “Lee Jongsuk. Jadi, Lee Minho? Mau gue anterin pulang sebagai salam perkenalan?”

“Nggak perlu, Lee Jongsuk. Si tolol yang barusan pergi itu udah jadi contoh nyata kalau kalian itu sama brengsek-nya dan gue nggak mau berurusan sama orang-orang yang ada disekitarnya. Jadi, makasih. Gue naik ojol aja.”

Hyunjae mengangguk saja setelahnya. Dia biarkan pemuda itu berlalu pergi selepas puas menghinanya. Begitu figurnya mulai menjauh hingga hilang ditelan jarak, barulah ia menerbitkan senyum. Sedangkan salah satu tangannya kini telah naik mengudara sembari menggenggam benda yang menjadi alasan akan mengapa dia senang kali ini.

“Lo pasti bakal balik lagi nemuin gue, ‘kan?” gumamnya sambil terus memperhatikan sebuah ponsel dengan case berwarna biru langit tersebut. “Sampai ketemu lagi, Cantik.

.
[Tbc]
.

aku kangen milju, dangggggg. aku usahain buat sering apdet di sini mumpung lagi mood, hsjsksakskak

Dulcet +MiljuWhere stories live. Discover now