ELLA

72 4 0
                                    

Jakarta. Akhirnya, setelah bertahun-tahun lamanya... Ella kembali ke kota kelahirannya.

Kulitnya terasa perih. Matahari Amerika ternyata berbeda dengan matahari Indonesia. Tidak menerpa lembut, namun mengiggit.

Ella sempat berpikir beberapa lama tentang keputusannya ke Jakarta. Masa lalunya dengan sang ayah kurang baik. Bahkan bisa dibilang, sangat tidak baik.

Namun, Ella tahu cara yang paling benar untuk sembuh adalah dari sumber lukanya. Ia harus menghadapi rasa sakit dan ketakutannya. Ia harus menemui ayahnya.

Saat sampai di rumah ayahnya yang berada di daerah Tebet, Ella menggenggam erat tangan Zoey. Tenggoroknya tercekat, napasnya sesak. Ella menghela napas sekuat mungkin—berusaha melapangkan dadanya.

Sungguh, Ella tidak mau ada penyesalan yang datang kemudian.

"Ella!" Rommy, adik bungsunya, yang membukakan pintu langsung menyerbu Ella dengan pelukan erat. Sudah hampir setahun ia tidak bertemu Rommy.

Ella melonggarkan pelukannya, menatap adiknya. "Mana Papa?"

"Ada di belakang." Rommy melepaskan Ella, beralih pada Zoey di sampingnya. "Halo, Zoey!"

"Halo, Uncle Rommy!" Zoey menggerak-gerakkan tangannya.

"Mau main sama Uncle Rommy nggak? Uncle Rommy punya game di laptop." Rommy tahu ini waktunya memberikan waktu kepada Ella dan ayahnya untuk bicara.

Ella melangkah ke belakang rumah ayahnya. Dilihatnya, Hadi Kurniawan sedang berjongkok di antara tanamannya. Jantungnya berdegup semakin cepat.

"Pa..." sapanya.

Lelaki paruh baya itu menolehkan wajahnya. Dia terkejut hingga tubuhnya hampir terjungkal. Beruntung Hadi bisa menjaga keseimbangannya, kemudian berdiri. "Ella?" katanya.

Ella berjalan semakin mendekat ke arah Hadi. Ada yang luruh di dalam dadanya melihat wajah yang semakin menua itu. Rasa rindu bercampur rasa sayang.

Hadi memeluk putri sulungnya. Didekap erat. Keduanya sama-sama memejamkan mata, menguarkan rasa rindu di dalam dada.

"Maafin Papa, Ella," ucap Hadi.

Ella menyurukkan kepala di dada ayahnya. "Ella juga salah, Pa. Ella minta maaf."

Mereka saling mengeratkan pelukan. Tanpa terasa air mata mengalir dari sudut mata Ella.

***

Ella memutuskan tinggal di rumah ayahnya sementara waktu. Selain untuk berada di dekat beliau, Ella belum ingin kembali ke Amerika. Masih terlalu sulit baginya melupakan beberapa bulan bersama Al.

Setelab seminggu berada di Jakarta—kebetulan Rommy sedang ada acara di Bali, Ella melihat ayahnya semakin sehat dan bugar. Dalam waktu dekat, Hadi akan menjalani operasi jantung dengan harapan aliran darah dalam tubuhnya membaik.

Hari itu, Hadi tampak berbincang sambil tertawa dengan Zoey. Ella terkesima melihatnya. Rasanya tidak ada pemandangan yang lebih indah dibandingkan itu.

Ella sudah menjelaskan pelan-pelan tentang surogasi yang dijalaninya. Awalnya, Hadi memang terkejut. Tapi, akhirnya bisa menerima keputusan Ella mau menjadi ibu pengganti bagi Maura dan Al. Ia pun menunjukkan foto-foto Toby kepada ayahnya.

Dan, Hadi tersenyum melihat bayi itu.

Sungguh sulit Ella percaya. Hubungannya dengan Hadi yang selama bertahun-tahun dianggapnya beku dan tidak mungkin mencair, kini berubah menjadi sangat hangat. Bahkan, ia jadi bertanya-tanya, kenapa tidak dari dulu mereka seperti ini?

"Ella..." panggil Hadi ketika putri sulungnya itu menyelimuti tubuhnya.

"Apa, Pa?" sahut Ella.

"Anak yang kamu kandung itu siapa namanya?"

"Toby." Ella mendadak sedih mengingat bayi itu.

"Toby." Hadi mengulang dengan bibir menyunggingkan senyum. "Jadi, Toby cucu Papa juga?"

"Bukan." Ella menggeleng. "Dia anak Maura dan Al. Sama sekali tidak berhubungan darah denganku."

"Ella..." Hadi menyentuh tangan putrinya. "Kalau bedasarkan hukum agama, kamu ibunya—walaupun sel telurnya bukan berasal darimu. Kamu yang memberikan dia makan. Kamu yang menumbuhkan tulang-tulangnya. Dia anakmu, Maura, dan Al."

Sepasang mata Ella memanas mendengar itu. Aku ibunya juga? Diam-diam dia menyimpan rindu kepada Toby. Sudah bisa apa dia sekarang?

Mereka berdua terdiam. Berpandangan. Ella baru pernah menangkap sorot mata ayahnya yang seperti ini. Lembut dan penuh kasih sayang. Dan, segala hal tentang kehidupan dalam benak Ella berubah.

***

Ella melihat kantong belanjaan di dekat lemari. Ia perlu melakukan sesuatu agar tidak terus-menerus memikirkan Al.  Ia mengambil kantong itu. Siang tadi ia berbelanja perlengkapan mandi di supermarket. Tangan Ella terhenti saat merogoh kantong begitu menemukan  selembar kartu ucapan. Ia baru sadar kalau sabun dan sampo yang dibelinya edisi Summer Love. Ia membaca tulisan di balik kartu itu.

I miss you.

Come here. I want to hug you tight.

I know we're not like a couple or anything. But I miss you. And it feels weird when you're not here.

Sisi sentimentil Ella langsung tergugah membaca kartu-kartu itu. Bagaimana bisa segala hal seolah-olah sedang berbicara tentang dirinya? Tentang kerinduannya?

Ella memasukkan kembali kartu itu, lalu menarik napas dalam-dalam.

"Mommy?"

Mendengar suara Zoey dari arah pintu, Ella sontak mengalihkan pandangannya. Gadis kecilnya berdiri di sana sambil membawa boneka beruangnya.

"Kenapa, Sayang?" tanya Ella begitu menghampirinya.

"Aku tidak bisa tidur," sahut Zoey. "Boleh aku tidur dengan Mommy malam ini?"

"Tentu boleh, Sayang." Ella mencium rambut putrinya.

Ella memasukkan kembali kartu ke kantong belanjaan, lantas bersama Zoey ke kamar. Mereka berbaring bersisian. Zoey bersandar di dada Ella, sementara sang ibu membelai rambutnya sambil sesekali mencium.

"Al sedang apa ya?" Zoey bergumam sambil mengucek-ucek mata.

Beberapa malam ini Zoey sulit tidur. Mungkin bocah ini merindukan kehadiran Al yang biasanya selalu ada. Selalu mendongenginya sebelum tidur.

Begitu juga Ella. Ia rindu saling berbagi cerita, membuat lelucon—dan hanya mereka yang tahu kenapa itu lucu, berdiskusi buku yang sedang mereka baca, melihat cengiran Al saat Ella ngomel karena Al selalu saja menaruh baju kotor sembarangan, menonton film lama bersama atau hanya saling mengirim pesan-pesan tidak penting yang membuat Ella tidak dapat berhenti tersenyum sepanjang hari.

"Al pasti sedang sibuk mengurus Toby," kata Ella sambil menarik selimut hingga ke dagu Zoey.

"Aku mau bertemu Al." Zoey mengerjapkan matanya yang sayu. Wajahnya menyiratkan kekecewaan.

Perkataan Zoey menghantam Ella. Senyum lenyap dari bibirnya. Ia menilik mata Zoey yang tampak mendamba. Tenggorokannya tercekat. "Sekarang Zoey tidur, ya. Besok kita telepon Al."

Dengan patuh, Zoey memejamkan mata.

Ella menunduk, mencium dahi putrinya. Ia begitu mencintai Al. Begitu mencintai hingga terasa sakit. Air matanya jatuh di helaian rambut Zoey.


***

Almost is Never Enough (SEGERA TERBIT)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ